MANILA, KOMPAS.com - Perjanjian perdamaian antara Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan Pemerintah Filipina telah mengakhiri konflik bersenjata selama puluhan tahun di Mindanao. Tetapi para ahli memperingatkan, perang klan tetap menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan di wilayah tersebut.
Perang klan, atau rido, adalah permusuhan berulang antara keluarga dan kelompok kekerabatan yang ditandai dengan serangkaian tindakan kekerasan maupun tindakan pembalasan. Seluruh anggota keluarga dapat menjadi sasaran aksi balas dendam, yang memicu siklus kekerasan berubah menjadi konflik antar generasi.
Baca juga: Filipina Tingkatkan Kehadiran Pasukan di Laut China Selatan demi Nelayan
"Pemerintah baru (Bangsa Moro) menjanjikan perdamaian dan keamanan di kawasan. Tapi, rido adalah salah satu faktor utama yang dapat menghancurkan proses perdamaian," kata Yasmira Moner, profesor pemerintahan pasca-konflik di Universitas Negeri Mindanao kepada DW.
"Tanpa resolusi rido, kekerasan bisa merembet ke komunitas lain hingga menjadi konflik skala besar,” jelasnya.
Kesepakatan damai mengantarkan pada pembentukan Daerah Otonomi Bangsa Moro di kawasan Muslim Mindanao, BARMM, sebagai wilayah administratif yang terdiri dari lima provinsi.
Baca juga: Toko Furnitur Filipina Izinkan Beli Barang Pakai Bawang Merah
Kekerasan antarklan yang disebut rido dapat ditelusuri kembali ke perebutan kekuasaan pra-kolonial antara para pemimpin suku setempat. Orang-orang kuat kala itu memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang signifikan, dan menegakkan kekuatan itu melalui pasukan bersenjata (milisi) mereka sendiri.
Kemudian kolonisasi Amerika Serikat memanfaatkan rido untuk membuat keluarga saling bermusuhan dan melemahkan oposisi terhadap pemerintahan kolonial, jelas Yasmira Moner.
Pada Mei 2020, media di Filipina melaporkan perang klan yang membuat sekitar 4.500 warga sipil harus mengungsi. Tahun lalu, terjadi bentrokan berdarah antara dua keluarga besar, sehingga ratusan orang terpaksa melarikan diri.
Baca juga: Kawasan Utara Indonesia Berisiko Kian Bergejolak Usai Filipina Perluas Akses Militer AS
Pada tahun 2009, persaingan politik antara dua keluarga, Mangudadatus dan Ampatuan, mengakibatkan pembunuhan massal terhadap 58 orang, termasuk anggota pers lokal. Pembantaian itu dipandang sebagai kasus terburuk dari kekerasan terkait pemilu di Filipina.
Esmael Mangudadatu, yang kehilangan dua saudara perempuan, istri, dan beberapa kerabatnya dalam kekerasan tersebut, kemudian memulai program penyelesaian konflik melalui Satuan Tugas Rekonsiliasi dan Unifikasi Maguindanao, MTFRU, selama menjabat sebagai gubernur. Pada 2017, MTFRU telah menyelesaikan sekitar 138 konflik klan, menurut data pemerintah.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.