Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aspita Dyah
ASN

Widyaiswara PPSDM KEBTKE

Menengok Transisi Energi Jepang

Kompas.com - 07/02/2023, 10:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TRANSISI energi menuju terciptanya energi bersih yang berkelanjutan kini menjadi isu global. Pasar pembiayaan internasional juga sudah mulai mengubah kebijakannya, seperti menghentikan dukungan untuk pengembangan pada proyek-proyek berbahan bakar fosil.

Saat ini negara-negara di dunia sedang menyusun peta jalan menuju transisi energi. Percepatan transisi energi di setiap negara menghadapi tantangan dan masalah yang berbeda. Untuk itu diperlukan diversifikasi, tak terkecuali dengan Jepang yang selalu mengembangkan teknologi termasuk dalam rangka transisi energi.

Jepang, seperti negara-negara Asia lainnya, zero emission pada teknologi termal memiliki peranan penting dalam mengamankan pasokan energi karena potensi energi terbarukan yang rendah dan jaringan listrik yang terbatas. Selain itu, secara geografis memungkinkan untuk membangun rantai pasokan untuk hidrogen dan amonia.

Baca juga: Kementerian ESDM: Indonesia Miliki Potensi EBT 3.686 GW untuk Modal Transisi Energi

Jepang berkomitmen untuk mencapai target net zero emission (NZE) tahun 2050. Jepang kini mengembangkan teknologi dekarbonisasi hidrogen bahan bakar amonia. Dalam bauran pembangkit listriknya pada tahun 2030, Jepang menetapkan 1 persen pengenalan hidrogen/amonia.

Jepang juga melakukan efisiensi energi dan pengembangan energi terbarukan. Pada tahun 2023, porsi energi fosil ditarget turun menjadi sekitar 41 persen dari yang semula 76 persen di tahun 2019. Sementara porsi energi non-fosil naik menjadi 59 persen dari yang semula sekitar 24 persen.

Penggunaan Hidrogen

Penggunaan hidrogen di sektor pembangkit listrik telah dikembangkan di Jepang sejak tahun 2018. Ketika itu, pada kapasitas 500 MW, teknologi yang digunakan telah mencapai tingkat co-firing (pembakaran dua jenis bahan bakar berbeda secara bersamaan) hidrogen sebesar 20 persen. Saat ini sedang berlangsung pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar tunggal (hidrogen).

Bahkan, industri di Jepang sudah berpartisipasi dalam pengembangan proyek-proyek pembangkit listrik hidrogen di luar Jepang. Produksi hidrogen domestik secara elektroliser sudah ada, yaitu proyek percontohan di Fukushima dengan menggunakan elektroliser skala besar yang sudah beroperasi sejak tahun 2020 (10 MW).

Baca juga: Pendanaan Transisi Energi JETP Indonesia Harus Sejalan dengan Ambisi Komitmen Iklim

Sekarang terdapat proyek percontohan lainnya di Yamanashi dengan ukuran yang lebih besar (16 MW) dengan tujuan untuk meningkatkan operasi dan menurunkan biaya. Untuk memperluas pasokan hidrogen caranya adalah mendorong pemanfaatan hidrogen di daerah yang pasokannya dapat diperluas dengan menggunakan infrastruktur yang sudah ada, dan akan lebih baik jika antara area permintaan dan pasokan berada sedekat mungkin.

Dengan pengetahuan, membuat banyak model, mempromosikan pengembangan infrastruktur di berbagai wilayah maka implementasi hidrogen dapat dipromosikan secara efisien. Contoh konsep dan model penerapan sosial hidrogen adalah untuk penggunaan skala besar (hidrogen impor) untuk industri dan pembangkit listrik.

Model hidrogen di beberapa tempat di Jepang, seperti di Fukushima, dikembangkan oleh industri-industri di Jepang. Dengan menggunakan hidrogen dan full-cell untuk fasilitas umum, pengembangan elektrolisis dengan energi terbarukan, proyek percontohan pada industri untuk pemanas listrik dan hydrogen burners pada jalur produksinya, melakukan studi kelayakan untuk mencampurkan hidrogen ke dalam layanan gas dan proyek percontohan untuk pemasangan boiler hydrogen di jalur produksinya.

Untuk rantai pasok hidrogen secara internasional, Jepang mengimpor hidrogen dari Brunei dan Australia. Hidrogen dari Brunei diimpor dalam bentuk MCH (methylcyclohexane) sebagai proyek percontohan dan sudah selesai pada Juni 2020 dan masih akan terdapat proyek percontohan berskala besar lainnya untuk komersialisasi pada tahun 2029.

Pada Februari 2022 telah dikirim hidrogen cair dari Australia dan akan dilanjutkan proyek percontohan skala besar lainnya untuk komersialisasi pada tahun 2030. Komersialisasi hidrogen mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Jepang. Subkomite baru untuk kebijakan hidrogen telah terbentuk.

Selain itu, seperti yang disampaikan Perdana Menteri Kishida pada April lalu, Jepang akan memberikan bold support measures terkait lebijakan hidrogen. Tentunya perlu dikaji mendalam dari tahap proyek percontohan ke tahap komersialisasi, seperti perbedaan harga dengan bahan bakar lainnya dan pengembangan infrastrukturnya.

Bahan Bakar Amonia

Selain hidrogen, Jepang juga mengembangkan teknologi dengan bahan bakar amonia. Amonia dalam pembakaran tidak mengeluarkan CO2 dan ini menjadi salah satu bahan bakar yang efektif untuk mengurangi pemasan global.

Amonia diproduksi dari gas alam atau energi terbarukan. Di Jepang, amonia tidak hanya sebagai salah satu penghasil hidrogen tetapi juga digunakan langsung untuk pembangkit listrik sebagai bahan bakar zero emission.

Baca juga: Tekan Emisi Karbon, PLTU Jawa 9 dan 10 Bakal Coba Penggunaan Amonia Hijau

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com