BURMA, KOMPAS.com - Rezim militer Myanmar telah mengumumkan perpanjangan keadaan daruratnya.
Hal ini secara efektif menunda pemilu yang telah dijanjikan oleh junta untuk diadakan pada bulan Agustus mendatang.
Fokus pemerintah berbalik menjadi memerangi pejuang anti-kudeta di seluruh negeri.
Baca juga: Produksi Opium Meningkat Tajam di Myanmar, Petani Tak Punya Pilihan
Kepala junta, Min Aung Hlaing, seperti dilansir dari Guardian, mengakui bahwa lebih dari sepertiga kota tidak berada di bawah kendali penuh militer.
Pengakuan itu datang pada peringatan kedua perebutan kekuasaan tentara pada tahun 2021, ketika Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional setuju untuk memperpanjang keadaan darurat yang diumumkan ketika para jenderal menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Myanmar telah berada dalam kekacauan sejak saat itu dan tindakan keras selanjutnya terhadap perbedaan pendapat telah memicu pertempuran di seluruh wilayah negara, yang juga masih harus mengatasi masalah perekonomian.
“Keadaan darurat akan diperpanjang selama enam bulan lagi mulai dari 1 Februari," kata penjabat presiden, Myint Swe, seperti dikutip media pemerintah.
Memperpanjang keadaan darurat mendorong kembali tanggal pemilihan harus diadakan sesuai dengan konstitusi negara.
AS pun mengecam perpanjangan darurat. Juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price mengatakan memperpanjang aturan tidak sah dan makin menambah penderitaan yang ditimbulkannya pada negara.
Dia mengatakan AS bertekad untuk bekerja dengan negara lain untuk menyangkal kredibilitas rezim internasional Myanmar.
Baca juga: Tanaman Opium di Myanmar Melonjak di Bawah Kekuasaan Militer
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.