Lantas National Security Agency (NSA) asal AS menuding bahwa melalui cepis dengan jaringan chip komputernya, Huawei mampu mengendalikan setiap elemen dari jaringan HP Huawei—peluang kejahatan, spionase atau operasi tertutup lainnya. Di sisi lain, sejak 2018, Huawei telah mengalahkan Apple asal AS sebagai penyedia HP terbesar dunia. Tahun 2018, Huawei meraih penghasilan 100 miliar dollar AS, dua kali Cisco dan melebihi IBM asal AS.
Dalam lingkungan digital dewasa ini, data pribadi tidak dikumpulkan untuk tujuan terbatas, khusus, dan transparan, yang menjamin perlindungan data dan privasi. Habitus baru ini, tulis ahli keamanan Bruce Schneier (2019), lahir dari Internet: “surveillance is the business model of the internet”.
Internet melahirkan model bisnis surveilans yang memilah masyarakat menjadi dua kelompok: pemantau atau pelacak dan terpantau atau terlacak.
“Surveillance capitalism is a human creation,” papar Shoshana Zuboff, penulis buku The Age of Surveillance Capitalism (John Naughton, 2019).
Baca juga: Basis Data Bocor di China Ungkap Ribuan Orang Uighur yang Ditahan
Kapitalisme pelacakan data pribadi berawal dari revolusi iklan online versi e-commerce untuk perusahan-perusahan teknologi seperti Google, kemudian berkembang ke siklus produk, jasa, asuransi, ritel, kesehatan, keuangan, hiburan, pendidikan, transportasi, dan mata-rantai sosial-ekonomi.
Revolusi kapitalisme surveilans melipatgandakan surveilans melalui teknologi informasi misalnya pengenal-wajah (facial recognition) dan sensor. Hasil observasi Sean Gallagher (2013), misalnya, menemukan bahwa NSA milik AS punya akses data melalui sistem teknologi Tempora, PRISM (Google); sebab menurut Foreign Intelligence Act AS, NSA boleh melacak target atau orang-orang tertentu.
Aplikasi PRISM memudahkan NSA masuk ke server raksasa Apple, Facebook, Google, Microsoft, Skype, Yahoo, dan YouTube. Akibatnya, kontrol enkripsi dan privasi tidak berfungsi (Gellman et al., 2013).
Program Co-Traveler NSA, misalnya, menggunakan teknik matematika untuk memetakan dan mengkuantifikasi perilaku dan pola hubungan pengguna telepon sebagai target operasi intelijen. Tahapan surveilans melibatkan pelacakan, agregasi, dan referensi-silang (David Lyon, 2014:4) dari sisi teknis kapitalisme surveilans.
Pada Februari 2019, Presiden AS Donald Trump menanda-tangan executive order : “American AI Initiative’. Ini adalah kanal AI AS bermitra dengan sekutunya. Kementerian Pertahanan AS meminta Defense Innovation Board merumuskan Etika AI dalam perang. Perancis dan Kanada akhir 2018 membahas isu ini melalui forum panel internasional.
Rusia merilis strategi road-map AI pertengahan 2019; Tiongkok mulai menggunakan AI mass automatic surveillance—piranti lunak pengenal wajah sejak 2018, khususnya terhadap etnik Uighur.
Apakah AS, Rusia, Tiongkok, Prancis dan Kanada menerapkan teknologi AI di bidang militer atau perang? AI adalah teknologi pemroses video dari hasil suveilans drone-drone, termasuk drone militer.
Dari Moskwa (Rusia), Presiden Rusia Vladimir Putin, pernah menduga: "Siapapun adidaya AI adalah ‘penguasa’ jagad". Maka Rusia membangun proyek piranti keras militer berbasis Al.
Sedangkan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, tahun 2017 merilis strategi AI ‘New Generation Plan’--akademik, militer, dan komersil. Rinciannya ialah Baidu untuk teknologi khusus intelijen berbasis otak manusia; Alibaba khusus kapitalisme data dan surveilans kota-kota cerdas; dan Tencent khusus komputer dan aplikasi medis.
Baca juga: Respons Joe Biden atas Putusan Mahkamah Uni Eropa Terkait Pelindungan Data Pribadi
Apa risiko kapitalisme surveilans atau spionase elektronik?
Pada Selasa 11 Oktober 2022 dari kantor spionase elektronik Inggris, Government Communications Headquarters di London, direktur intelijen, siber, dan keamanan Inggris, Jeremy Fleming, merilis risiko manipulasi teknologi, seperti satelit, artificial intelligence, biologi sintetik dan genetika, yang mengancam keamanan global (M Holden/Reuters, 2022).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.