Sejumlah media di dunia, seperti The Daily Mail, menyebut suporter Jepang sebagai “an example”. ESPN juga turut menyebut mereka dengan headline “a lesson in manners”. Times of India menjuluki mereka dengan sebutan “classy”, dan Malaysian Digest juga turut mengapresiasi mereka sebagai “the true winners”.
Baca juga: Belajar Budaya Kebersihan dari Suporter Jepang di Piala Dunia Qatar 2022
Dengan viralnya budaya ini secara instan, suporter Jepang dinilai berhasil memenangkan hati suporter sepak bola dunia di era informasi, meskipun kalah di pertandingan Piala Dunia yang sesungguhnya.
Kini di 2022, tren tersebut diikuti pula oleh suporter Timnas Prancis dan beberapa negara lain.
Dalam teori hubungan internasional, disadari atau tidak, apa yang dilakukan suporter sepak bola Jepang dengan budaya bersih-bersihnya tersebut merupakan sebuah wujud pelaksanaan dari konsep soft power diplomacy. Diplomasi publik dengan menggunakan budaya (soft power) menegaskan bahwa solusi terkait pembahasan akan persoalan dunia tidak melulu harus bersifat anarkistis seperti dalam teori realis.
Letak kekuatan dari konsep soft power diplomacy ini sebenarnya ada pada proyeksi suatu budaya kepada masyarakat atau peradaban lain, seperti yang di kemukakan Joseph Nye di esainya tahun 1990.
Pendapat Nye terkait fenomena soft power ini sebenarnya sangatlah sederhana: ketika Amerika Serikat suatu saat akan kehilangan pengaruh geopolitiknya di suatu kawasan, maka mereka tidak boleh melupakan proyeksi kultural, yaitu soft power-nya.
Baca juga: Lagu Pembuka Piala Dunia, Jungkook, dan Fenomena Soft Power
Ia berpendapat bahwa the third great player dalam masalah-masalah internasional adalah soft power, di belakang kekuatan militer maupun ekonomi.
Nye menyebut bahwa soft power merupakan kemampuan untuk mengubah preferensi atau persepsi pihak lain terhadap suatu aktor.
Dalam buku Soft Power: The New Great Game karya Robert Winder, disebutkan bahwa soft power adalah sebuah seni bagi suatu negara untuk merebut hati dan pikiran orang lain tanpa menggunakan senjata-senjata biasa: guns or money.
Menurut Winder, konsep ini bagaikan medan magnet yang bersumber dari gabungan budaya, gaya hidup, sejarah, warisan dan nilai-nilai politik di suatu masyarakat. Ia menganggap, dibanding menggunakan cara-cara diplomasi koersif yang konvensional (seperti menggunakan senjata atau rudal), soft power dikatakan sebagai cara yang lebih feminin. Namun tidak bisa diremehkan efeknya.
Bila saat ini kita terkesima dengan perilaku para suporter Jepang yang melakukan bersih-bersih sampah di Stadion setelah pertandingan usai, maka dapat dikatakan bahwa Jepang berhasil memainkan peran soft power-nya kepada dunia.
Bentuk diplomasi semacam ini tentu sesuatu yang menurut penulis sangat positif dan dapat dicontoh oleh bangsa manapun di dunia, dibanding menggunakan cara-cara represif atau kekerasan untuk memaksakan suatu nilai tertentu kepada masyarakat.
Jepang tentu meraih positive gain dari viralnya budaya ini, dengan kesan positif akan peradabannya di mata dunia. Hal ini, menurut penulis, sangat perlu untuk ditiru oleh Indonesia.
Dengan semangat untuk terus berbenah diri dan melalui cara-cara yang baik, suporter Indonesia harus dapat memberikan suri teladan kepada dunia, atau minimal, kepada sesama masyarakat di sekitarnya. Karena disadari atau tidak, baik buruknya suporter sepak bola kita juga merupakan cermin bagi soft power Indonesia di mata dunia olahraga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.