BEIJING, KOMPAS.com - Aksi protes kebijakan nol Covid di China menyebar cepat ke seluruh negeri dan menjadi tantangan besar bagi pemerintah pusat di Beijing. Aparat keamanan bergegas dikerahkan meredam aksi tersebut.
Sementara sebagian besar dunia belajar untuk hidup dengan virus corona, China tetap menerapkan kebijakan penguncian dan karantina yang ketat, membatasi kebebasan bergerak warga, dan memaksa bisnis ditutup, di mana kasus baru muncul.
Namun, rasa frustrasi warga tampaknya sudah begitu besar, sehingga mereka turun ke jalan dan dengan lantang memprotes kebijakan itu, mengakibatkan protes massal terbesar yang pernah dilihat China dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa pengunjuk rasa bahkan dengan lantang menuntut Presiden Xi Jinping untuk mundur.
Baca juga: Alasan Mengapa Warga China Menggunakan Kertas Putih Saat Berunjuk Rasa
Para pengunjuk rasa di Beijing mengatakan kepada DW, selama pandemi banyak orang sudah kehilangan pekerjaan dan bisnisnya.
"Banyak orang punya utang besar, untuk biaya sekolah untuk anak-anak mereka dan biaya pengobatan untuk anggota keluarga lanjut usia. Kami tidak dapat banyak bantuan dari pemerintah, dan kami harus menanggung sebagian besar dampaknya,” kata seorang pengunjuk rasa yang hanya ingin diidentifikasi sebagai Yang.
Pengunjuk rasa lain, yang disapa Wang, mengatakan langkah-langkah pandemi yang ketat telah mempersulit orang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Momen Hening Pejabat Senior China, Terdiam Setelah Ditanya Tentang Protes Covid
"Situasi saat ini di China adalah, orang miskin akan menjadi lebih miskin sementara orang kaya dan pemerintah tidak akan pernah peduli dengan kesejahteraan kami. Kami butuh pekerjaan untuk menghidupi keluarga dan membayar utang," ujarnya.
Hingga kini tidak ada banyak indikasi bahwa penguasa di Beijing akan mundur dari kebijakan nol Covid dalam waktu dekat. Pemerintah China berulang kali gembar-gembor bahwa kebijakannya adalah model pencegahan pandemi yang sukses, yang telah menyelamatkan jutaan nyawa.
Namun, kebijakan itu tidak dilihat publik sebagai suatu keberhasilan.
"Pertama dan terpenting, penyebab protes ini adalah frustrasi, karena orang telah menunggu bertahun-tahun sampai pihak berwenang melonggarkan pembatasan, dan mereka melihat dan merasakan dampak dari pembatasan ini di sekitar mereka," kata Sophie Richardson, Direktur Lembaga Hak Asasi Manusia Human Rights Watch (HRW) di China.
Baca juga: Pesawat China dan Rusia Masuk Zona Pertahanan, Korea Selatan Terbangkan Jet Tempur
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.