Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisakah Perusahaan Kecil Bersaing dengan Raksasa Teknologi?

Kompas.com - 28/11/2022, 11:01 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Akuisisi Twitter oleh Elon Musk telah membawa perhatian baru pada bagaimana arsitektur internet semakin didominasi oleh segelintir pengusaha yang berkuasa.

Para direktur perusahaan kecil mengatakan kepada DW, mereka berharap reaksi publik terhadap Elon Musk akan membantu perusahaan mereka mendapatkan lebih banyak perhatian.

"Pertanyaannya sekarang adalah: Bagaimana kita memastikan bahwa alternatif tersebut mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan, mengingat monopoli perusahaan teknologi begitu kuat?" kata Meredith Whittaker, presiden organisasi nirlaba Signal Foundation, yang mengawasi pengembangan aplikasi pesan terenkripsi, Signal. Sebelumnya dia juga pernah bekerja di Google.

Baca juga: AS Makin Keras, Larang Penjualan Alat Telekomunkasi Buatan Perusahaan China

Andy Yen, direktur Proton, yang membuat layanan email terenkripsi "Proton Mail", menyebut situasi ini serupa dengan awal gerakan lingkungan, yang menjalani kerja advokasi selama beberapa dekade sebelum kesadaran publik terhadap isu itu bangkit dan menjadi arus utama.

"Sekarang kita tiba-tiba mencapai titik, di mana sikap tidak peduli dengan lingkungan tidak dapat diterima lagi secara sosial," katanya.

Kesadaran publik tentang privasi online suatu hari akan mencapai titik kritis yang serupa. "Mungkin butuh 20 atau 30 tahun, tapi perubahan itu tidak bisa dihindari," ujarnya.

Penilaian serupa disuarakan Mitchell Baker, direktur organisasi nirlaba Mozilla Foundation, anak perusahaan yang mengembangkan browser web Firefox.

"Kami berada di fase awal perubahan besar, dan perubahan ini memakan waktu lama. Tapi kami sedang membangun menuju sesuatu," katanya.

Baca juga: PHK Massal di Perusahaan Teknologi Raksasa AS Berlanjut, 10.000 Karyawan Amazon Kini Jadi Sasaran

Berfungsi seperti Big Tech, tapi mengumpulkan lebih sedikit data

Meredith Whittaker, Presiden Signal Foundation berbicara di sebuah aksi protes di New York, AS.BEBETO MATTHEWS/AP PHOTO/PICTURE ALLIANCE via DW INDONESIA Meredith Whittaker, Presiden Signal Foundation berbicara di sebuah aksi protes di New York, AS.

Strategi Signal antara lain membuat aplikasinya terlihat dan terasa seperti pesaing besarnya WhatsApp. Organisasi nirlaba yang berbasis di Silicon Valley itu baru-baru ini meluncurkan fitur baru yang memungkinkan pengguna mengunggah video, gambar, atau teks yang hilang setelah 24 jam.

Bedanya, Signal mengumpulkan data sesedikit mungkin, kata Meredith Whittaker. Signal misalnya tidak melacak metadata tentang siapa yang berkomunikasi dengan siapa dan kapan, dan tidak mencatat nama atau gambar yang dipilih orang untuk profil mereka.

Tapi persaingan ini tentu saja tidak seimbang. Signal hanya beroperasi dengan staf kecil, berbeda dengan WhatsApp, yang tahun 2014 dibeli oleh Facebook, yang sekarang bernama Meta.

Baca juga: Menyusul Twitter, Perusahaan Induk Facebook Berencana PHK Massal Karyawan Minggu Ini

Signal sebagai organsiasi nirlaba juga harus mencari sumber alternatif untuk membiayai layanan gratisnya, yang menurut Meredith Whittaker membutuhkan biaya puluhan juta dollar AS per tahun untuk pemeliharaan.

WhatsApp menghasilkan sebagian besar pendapatannya dengan akun bisnis berbayar dan pembayaran dalam aplikasi. WhatsApp juga berbisnis dengan data-data penggunanya, dan Meta mendapatkan bagian terbesar dari keuntungannya dengan menjual iklan bertarget berdasarkan data-data pelanggan.

Signal tidak mungkin melakukan itu, kata Meredith Whittaker. Dananya sebagian berupa sumbangan. Tapi dia yakin, di antara banyak orang yang menggunakan Signal, ada cukup banyak orang yang bersedia memberikan sumbangan.

Baca juga: Dewan Perusahaan Twitter Bubar, Elon Musk Jadi Direktur Tunggal

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com