Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Berharap Presidensi G20 Indonesia Atasi Krisis Geopolitik Global

Kompas.com - 16/11/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAK dipungkiri puncak acara KTT G20 di Bali (15-16 November 20220) menjadi momen pembuktian peran dan kinerja Indonesia dalam mengatasi masalah-masalah global.

Pasalnya, pada perhelatan akbar itu, Indonesia diharapkan mampu meyakinkan seluruh anggota G20 untuk merumuskan kebijakan dan aksi global guna menyelesaikan krisis geopolitik dan pemulihan ekonomi global.

Sebagai Presiden G20, Indonesia sendiri menargetkan agar G20 segera menemukan solusi damai bagi perang Rusia-Ukraina, sehingga G20 dapat menjadi katalis pemulihan ekonomi dunia usai dihantam pandemi Covid-19.

Tantangan Geopolitik

Namun upaya menggerakkan anggota G20 mewujudkan proses perdamaian di Ukraian dan pemulihan ekonomi berjalan tersendat-sendat lantaran ketegangan geopolitik tersebut justru melibatkan negara-negara anggota G20 sendiri.

 

Baca juga: Jika KTT G20 Indonesia Buntu, Isunya Akan Dibahas di India 2023Sejatinya, ini bukan masalah baru. Karoline Postel Vinay dalam bukunya, The G20: A New Geopolitical Order (2013) menyebutkan, G20 dirancang dengan sangat hati-hati oleh sejumlah pemimpin negara G7 untuk menanggapi kombinasi perkembangan dunia, mulai dari evolusi sosial-ekonomi sebagai efek dari globalisasi, runtuhnya tembok Berlin pada 9 November 1989, hingga krisis keuangan Asia tahun 1997-1998, dan krisis ekonomi tahun 2008.

Keanggotan G20, tulis dia, menjadi final pada 1999, ketika sejumlah negara seperti Meksiko, China, Brasil, dan India, kemudian Argentina, Indonesia, Turki, dan Afrika Selatan dianggap memiliki kekuatan finansial yang memadai.

Menurut dia, komposisi G20 mencerminkan metamorfosis politik dunia. Berbeda dengan G8 ataupun G77, anggota G20 adalah kombinasi antara negara maju dan berkembang, demokrasi dan rezim otoriter, pemerintah sekuler dan agama.

Vinay berpendapat bahwa G20 bukanlah dewan eksekutif global untuk tatanan dunia baru, juga bukan hanya unit krisis untuk ekonomi yang gagal.

Tetapi, G20 adalah laboratorium untuk pengamatan, eksperimen, dan penemuan bentuk-bentuk baru kerja sama internasional yang mendefinisikan kembali politik global. Sehingga dalam situasi tertentu ia tampil sebagai sebagai badan dunia yang berkompetisi dengan PBB.

Meski punya kesamaan cita-cita, G20 bukanlah wadah yang harmonis. Beberapa anggotanya diketahui saling berkompetisi, bahkan ‘bermusuhan’ karena membela kepentingan sendiri dan meraih hegemoni.

Munculnya China sebagai negara adidaya baru melawan hegemoni AS mengobarkan persaingan strategis yang terus membara di antara keduanya.

Akibatnya, keduanya lebih fokus berupaya merebut kekuatan geopolitik dan membatasi saling ketergantungan secara ekonomis, daripada mengupayakan kerja sama internasional yang saling menguntungkan.

Baca juga: Draf Deklarasi KTT G20 Terungkap, Kutuk Perang di Ukraina

Di kawasan utara, peta geopolitik global mulai terbelah ketika Rusia mengivasi Ukraina, dan negara-negara Eropa Barat mengambil posisi membela Ukraina dan memberikan sanksi ekonomi atas Rusia.

Meskipun sanksi sejauh ini terfokus pada Rusia dan Belarusia, ada risiko bahwa sanski tersebut justru memicu konflik yang kian melebar, dan menarik para sekutu di kedua belah pihak untuk ikut mengambil bagian dalam konflik bersenjata.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan tentang berapa banyak pendapatan riil yang mungkin hilang jika kerja sama perdagangan international dihentikan, dan ekonomi global dipisahkan atau terpecah menjadi blok Timur dan blok Barat.

Studi yang dilakukan European Central Bank (ECB) Forum yang dirilis 27-29 Juni 2022 meyebutkan bahwa pandemi global dan ketegangan geopolitik baru-baru ini (perang di Ukraina) telah mengganggu pasokan energi dan bahan pangan sehingga melemahkan aktivitas ekonomi, memicu inflasi di Eropa dan sejumlah negara berkembang, bahkan dunia secara umum.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com