Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bumi Alami Delapan Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah, Separah Apa Dampaknya?

Kompas.com - 07/11/2022, 13:01 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Guardian

CAIRO, KOMPAS.com - Delapan tahun terakhir adalah delapan tahun terpanas yang pernah tercatat, menurut laporan baru PBB, yang menunjukkan bahwa dunia kini terperosok dalam krisis iklim.

“Batas 1,5 derajat Celsius yang disepakati secara internasional pada pemanasan global sekarang jauh dari jangkauan," ungkap laporan PBB sebagaimana dilansir Guardian.

Laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB, menetapkan bagaimana rekor gas rumah kaca di atmosfer mendorong permukaan laut dan es mencair ke titik tertinggi baru dan memicu cuaca ekstrem dari Pakistan (Asia Selatan) hingga Puerto Rico (Karibia).

Baca juga: Konferensi Iklim COP27 Dimulai, Ini Penjelasan Kerugian dan Kerusakan bagi Negara Berkembang

Penilaian yang mengkhawatirkan dirilis pada hari pembukaan KTT iklim PBB Cop27 di Mesir.

Pada kesempatan yang sama Sekretaris Jenderal PBB memperingatkan bahwa "planet kita berada di jalur untuk mencapai titik kritis yang akan membuat kekacauan iklim tidak dapat diubah." .

WMO memperkirakan bahwa suhu rata-rata global pada 2022 akan menjadi sekitar 1,15 derajat Celsius di atas rata-rata pra-industri (1850-1900). Artinya, setiap tahun sejak 2016 telah menjadi salah satu rekor terpanas dalam sejarah Bumi.

Selama dua tahun terakhir, fenomena cuaca alamiah La Nina sejatinya telah menjaga suhu global lebih rendah dari yang seharusnya.

Namun berlawanan dari itu, El Nino yang tak terhindarkan akan menyebabkan suhu meningkat lebih jauh di masa depan, selain pemanasan global.

Baca juga: COP27 Dibuka, Kompensasi Iklim bagi Negara Rentan Jadi Agenda Diskusi

Laporan WMO mengatakan:

  • Karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida memecah tingkat rekor di atmosfer saat emisi terus berlanjut. Peningkatan tahunan metana, gas rumah kaca yang kuat, adalah rekor tertinggi yang pernah dicatat.
  • Permukaan laut sekarang naik dua kali lebih cepat dari 30 tahun yang lalu dan lautan lebih hangat dari sebelumnya.
  • Rekor pencairan gletser di Pegunungan Alpen dipecahkan pada 2022, dengan ketinggian rata-rata 4 meter.
  • Hujan, bukan salju, pertama kali tercatat di puncak lapisan es Greenland pada ketinggian 3.200 meter.
  • Area es laut Antartika turun ke level terendah dalam catatan, hampir 1 juta kilometer persegi di bawah rata-rata jangka panjang.

"Semakin besar pemanasan, semakin buruk dampaknya," kata Sekretaris Jenderal WMO Profesor Petteri Taalas sebagaimana dilansir Guardian pada Minggu (6/11/2022).

Baca juga: Ratusan Aktivis Iklim Serbu Bandara Amsterdam dan Blokir Jalan Pesawat Jet Pribadi

“Kita memiliki tingkat CO2 yang begitu tinggi di atmosfer sekarang sehingga (target) 1,5 derajat Celsius yang lebih rendah dari Perjanjian Paris jauh dari jangkauan. Sudah terlambat bagi banyak gletser (dan) kenaikan permukaan laut merupakan ancaman besar dan jangka panjang bagi jutaan penduduk pesisir dan negara bagian dataran rendah.”

Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, mengatakan sebelum COP27: “Emisi terus tumbuh mencapai rekornya. Itu berarti planet kita berada di jalur untuk mencapai titik kritis yang akan membuat kekacauan iklim tidak dapat diubah. Kita perlu bergerak dari titik kritis ke titik balik untuk harapan (keberlangsungan bumi).”

Serangkaian laporan baru-baru ini mencatat seberapa dekat planet ini dengan bencana iklim.

Pasalnya, "tidak adanya jalur yang kredibel menuju (batas pemanasan) 1,5 derajat Celsius." Lemahnya tingkat pengendalian yang dilakukan saat ini, diprediksi tak akan mampu mendorong penurunan emisi dan justru mendorong kenaikan suhu hinggi 2,5 derajat Celsius.

Baca juga: China Salahkan AS karena Rusak Ikatan Perlawanan terhadap Perubahan Iklim

Dampak pemanasan global yang terus meningkat membuat cuaca ekstrem lebih parah dan lebih sering terjadi di seluruh dunia.

Laporan WMO menyoroti kekeringan di Afrika Timur, di mana curah hujan sudah berada di bawah rata-rata selama empat musim berturut-turut, terpanjang dalam 40 tahun.

\
Akibatnya, sekitar 19 juta orang kini mengalami krisis pangan.

Analisis WMO juga menyorot sejumlah bencana alam yang menghancurkan di seluruh dunia, seperti:

  • Banjir yang menghancurkan terjadi di Pakistan, dengan sedikitnya 1.700 orang tewas dan 7,9 juta orang mengungsi.
  • Serangkaian topan yang menghantam Afrika selatan, dan menghantam Madagaskar paling keras dengan hujan lebat.
  • Gelombang panas dan kekeringan yang luar biasa di Belahan Bumi Utara, dengan China mengalami gelombang panas terpanjang dalam catatan, Inggris melebihi 40 derajat Celsius untuk pertama kalinya dan sungai-sungai Eropa termasuk Rhine, Loire dan Danube jatuh ke tingkat pengairan yang sangat rendah.
  • Badai Ian menyebabkan kerusakan yang luas dan hilangnya nyawa di Kuba dan Florida.

Baca juga: China Salahkan AS karena Rusak Ikatan Perlawanan terhadap Perubahan Iklim

"Terlalu sering, mereka yang paling tidak bertanggung jawab atas perubahan iklim paling menderita. Tetapi (saat ini) bahkan masyarakat yang dipersiapkan dengan baik (negara maju) turut hancur oleh hal-hal ekstrem tahun ini," kata Profesor Taalas.

Prof Mike Meredith, di Survei Antartika Inggris, mengatakan “pesan-pesan dalam laporan ini hampir mungkin lebih suram – di seluruh planet kita.”

“Rekor sedang dipecahkan ketika berbagai bagian sistem iklim mulai rusak. Hilangnya es sangat mengkhawatirkan karena dampaknya terhadap manusia, masyarakat, dan ekonomi sangat besar. Jika ini tidak menjadi fokus pikiran para pemimpin global di COP27, saya tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Guardian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com