Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Diaspora Indonesia Keroyokan Kenalkan Kebaya di Eropa…

Kompas.com - 30/09/2022, 17:00 WIB
Krisna Diantha Akassa,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

BERN, KOMPAS.com – Busana kebaya asal Indonesia terus didorong untuk dapat dikenal di mata dunia.

Adalah Christiana Dessynta Streiff, salah satu diaspora Indonesia di Swiss, yang turut aktif dalam mengkampanyekan pemakaian kebaya di Swiss dan Eropa.

Perempuan Indonesia yang menetap di Zurich, Swiss ini bahkan telah menyusun agenda akan berbusana kebaya bersama 30 warga Indonesia lainnya di Jenewa pada Minggu (2/10/2022).

Baca juga: Swiss Akan Hancurkan 10 Juta Dosis Vaksin Moderna Senilai Rp 4 Triliun karena Kedaluwarsa

Christiana akan berjalan kaki dari monumen Broken Chair, patung kursi raksasa di Gedung PBB Jenewa, menuju ke Jet D'eau, pancuran air di tepi Telaga Jenewa.

Selain menjadi land mark kota Jenewa, dua lokasi itu kerap digunakan untuk kegiatan unjuk rasa publik.

“Selain memperingati hari batik nasional, kami juga ingin mengenalkan kebaya di Eropa,” tutur dia mengenai tujuan penyelenggaraan tersebut kepada kompas.com.

Lebih jauh, Christiana menyampaikan, kegiatan itu dilakukan sebagai upaya mendukung busana kebaya agar diakui Unesco sebagai warisan budaya, bukan benda.

“Ini langkah awal untuk tujuan tersebut,” kata Christiana.

Cuaca di Eropa sebenarnya kini kurang mendukung untuk penggunaan kebaya. Musim gugur sudah jatuh di belahan bumi utara ini.

Suhu udara paling tinggi mencapai 15 derajat Celcius.

Baca juga: Kemeriahan Pesta Rakyat Diaspora Indonesia di Jenewa Swiss Sambut HUT Ke-77 RI

Kebaya, busana yang biasanya hanya cocok untuk negara tropis, tidak nyaman untuk dikenakan saat ini. Meski beguti, Christiana tak mau menyerah.

“Ya, kami tahu itu, tapi tetap saja kami akan berjalan di jalur itu demi mengenalkan kebaya di Eropa,” tekad Christiana.

Sebagai diaspora Indonesia, dia merasa terpanggil untuk dapat mengenalkan kebaya di Eropa.

“Kebaya itu jati diri busana perempuan Indonesia. Kita harus bangga dan bisa menunjukkan busana ini di Eropa,” kata dia.

Semarak untuk menunjukkan kebaya di Eropa belum lama ini sudah dimulai dari Paris, Perancis, tepatnya pada Kamis (22/9/2022) pekan lalu.

Di mana, dalam acara itu, sekitar 20-an perempuan Indonesia melaukan flash mob sambil berkebaya di Place De Trocadero di Paris.

Sementara, di Swiss, Christiana akan menggandeng Asosiasi Indonesia-Jenewa yang dipimpin Chessy Karina untuk menyukseskan acara promosi kebaya di mata dunia.

“Karena Bern sudah melakukannya, maka kami akhirnya memilih Jenewa,” kata Christiana.

Baca juga: Biden Sebut Swiss yang Netral Akan Gabung NATO, Benarkah?

Upaya kenalkan kebaya di negara Eropa lain

Pengenalan kebaya kepada masyarakat Eropa juga akan dilakukan di Kopenhagen, Denmark dalam waktu dekat.

Adalah Dahlia Bojer, diaspora Indonesia di Kopenhagen, yang berencana menggelar fashion show kebayaya pada Sabtu (1/10/2022).

Norwegia, Swedia dan Belanda juga akan mengenalkan kebaya dengan caranya masing-masing.

Dibandingkan dengan batik, kebaya dirasa belum begitu dikenal di Eropa.

Pemakaiannya di kalangan diaspora Indonesia juga tidak terlalu sering.

Pantauan kompas.com, kebaya biasanya hanya dikenakan di acara khusus. Misalnya, saat perayaan 17 Agustus, hari raya Galungan dan Kuningan, atau resepsi diplomatik di KBRI Bern atau PTRI Jenewa.

Pemakaian kebaya di hari biasa, hampir tak pernah terlihat.

Swiss juga memiliki pakaian tradisional. Trach namanya. Penggunaannya juga sporadis. Namun karena budaya tradisional Swiss cukup terpelihara, pemakaian trach cukup sering.

Baca juga: Biden Sebut Swiss yang Netral Akan Gabung NATO, Benarkah?

Trach justru tidak digunakan di perayaan kemerdekaan Swiss. Namun lebih ke acara ceremonial menggiring sapi turun gunung atau paduan suara.

Tracht, busana tradisional Swiss dan Kebaya Bali. Dokumen Rifani Suherman Tracht, busana tradisional Swiss dan Kebaya Bali.

Seperti juga kebaya di Indonesia, tiap daerah di Swiss memiliki ciri khas tersendiri terhadap pakaian Trach. Jika pun ada yang sama, adalah harganya.

Trach, jika bordirannya rumit, bisa mencapai harga 6.000 swiss franch atau setara 90 juta rupiah.

Itulah sebabnya, trach biasanya diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Hanya keluarga kaya yang akan membeli trach baru untuk keluarganya.

Pengenalan kebaya di Swiss diyakini bakal disambut hangat masyarakat lokal.

Penduduk Swiss cukup terbuka dengan penggunaan pakaian tradisional dari negara lain.

Ayu, warga Bali yang menetap di Thun, mengaku sering mendapatkan sambutan positif jika mengenakan kebaya.

“Umumnya mereka penasaran dan bertanya dari mana busana yang indah itu,” kata Ayu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com