Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Poros Baru Asia" Buatan Putin Terancam Gagal

Kompas.com - 26/09/2022, 11:00 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Penulis: David Hutt/DW Indonesia

VLADIVOSTOK, KOMPAS.com - Saat berbicara di Forum Ekonomi Timur pada awal September lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin berkomitmen untuk memisahkan ekonomi negaranya dari negara-negara Uni Eropa yang telah menjatuhkan sanksi besar-besaran

"Peran dari ... negara-negara di kawasan Asia Pasifik telah meningkat secara signifikan," ungkap Putin pada forum yang diadakan di kota pelabuhan Pasifik Rusia, Vladivostok, seraya menambahkan bahwa Asia memiliki "peluang baru kolosal bagi rakyat kita."

Doktrin angkatan laut Rusia yang baru diperbarui, yang diterbitkan pada 31 Agustus, juga bertujuan untuk meningkatkan eksistensi militernya di Timur.

Baca juga: Putin Pastikan Rusia Akan Ambil Bagian dalam KTT G20 di Bali!

Sanksi yang menusuk

Ekonomi Rusia telah sangat terpukul oleh sanksi internasional yang dijatuhkan awal tahun ini, meskipun pemerintah menganggap bahwa mereka hanya akan berkontraksi sebesar 3 persen pada tahun 2022.

"Ini adalah kebutuhan geopolitik dan keinginan tulus untuk memosisikan Rusia sebagai sumber energi, sumber daya, peralatan pertahanan, dan dalam beberapa kasus, teknologi nuklir untuk ekonomi Asia yang sedang berkembang," kata Philipp Ivanov, CEO dari sebuah kelompok cendekiawan, Asia Society Australia.

Poros lain yang gagal?

Para analis telah menyarankan bahwa poros terbaru Putin akan sama tidak berhasilnya dengan kecenderungannya ke arah Asia pada 2012 lalu, yang dijuluki kebijakan "Turn to the East” Moskwa.

Putin mengakui bahwa Xi memiliki pertanyaan dan kekhawatiran tentang perang di Ukraina.SPUTNIK/SERGEI BOBYLEV via DW INDONESIA Putin mengakui bahwa Xi memiliki pertanyaan dan kekhawatiran tentang perang di Ukraina.
"Saya menyebut kegagalan lainnya, karena sekali lagi, Rusia tidak memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada kawasan ini secara strategis atau ekonomi," kata Joshua Kurlantzick, peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations.

Perdana Menteri India Narendra Modi mengatakan Rusia perlu "bergerak ke jalur perdamaian" setelah menghadiri KTT regional di Uzbekistan pekan lalu. Putin telah secara terbuka mengakui bahwa Presiden China Xi Jinping memiliki "pertanyaan dan kekhawatiran" tentang perang.

Analis menganggap bahwa Moskwa telah menjadikan dirinya lebih seperti "mitra junior" Beijing sejak invasinya ke Kyiv.

Baca juga:

Sikap netral terkait Ukraina

Singapura menjadi satu-satunya negara Asia yang menjatuhkan sanksi sepihak mereka terhadap Rusia karena invasi Ukraina.

Di bawah poros pertama, ASEAN meningkatkan hubungannya dengan Rusia menjadi "kemitraan strategis" pada tahun 2018, empat tahun setelah Rusia "mencaplok" Crimea, bagian dari Ukraina. Namun, perdagangan ASEAN-Rusia hanya tumbuh menjadi sekitar 20 miliar dollar AS pada tahun 2021--naik dari 18,2 miliar dollar AS pada tahun 2012.

Angka itu tidak ada artinya dibandingkan dengan perdagangan ASEAN dengan China senilai 878 miliar dollar AS dan Amerika Serikat senilai 441,7 miliar dollar AS pada tahun 2021. Perdagangan ASEAN dengan Taiwan bernilai hampir empat kali lipat dibandingkan dengan Rusia.

Sebagian besar negara Asia Tenggara telah berusaha untuk tetap netral terkait Perang Ukraina. Menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Rusia telah menjadi penyedia utama peralatan militer ke wilayah tersebut sejak tahun 1990.

SCO menjadi ajang pertemuan internasional besar pertama Putin sejak Moskwa mengirim pasukan ke Kyiv.ASSOCIATED PRESS via DW INDONESIA SCO menjadi ajang pertemuan internasional besar pertama Putin sejak Moskwa mengirim pasukan ke Kyiv.
Energi yang berkembang pesat

Menurut Frederick Kliem, seorang peneliti dan dosen di S Rajaratnam School of International Studies di Singapura, tidak ada anggota ASEAN yang "melihat masa depan ekonomi mereka dengan Rusia" kecuali Myanmar di bawah kuasa junta militer.

Namun, satu bidang di mana Rusia bisa merangkul beberapa teman adalah dalam kerja sama energi, tambahnya. Banyak negara Asia memperdebatkan apakah akan mengejar pembangkit listrik tenaga nuklir, pada saat yang sama ketika investasi di sektor energi terbarukan mereka sedang besar-besarnya.

Pada Juli lalu, Pemerintah Indonesia mengatakan sedang mempertimbangkan tawaran Rusia untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir. Pada bulan yang sama, NovaWind-- anak perusahaan raksasa energi Rusia Rosatom--menandatangani kesepakatan dengan Vietnam untuk mengembangkan ladang angin 128MW, proyek luar negeri pertama mereka.

Baca juga: 4 Hal yang Akan Terjadi jika Putin dan Rusia Pakai Senjata Nuklir di Ukraina

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Mengapa “Poros Baru Asia” Vladimir Putin Berpotensi Gagal?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com