Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mampukah Sri Lanka Pulih dari Keruntuhan Ekonomi?

Kompas.com - 21/07/2022, 22:31 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOLOMBO, KOMPAS.com - Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe dipilih untuk melanjutkan perannya oleh parlemen pada Rabu (20/7/2022). Ia memiliki tugas besar dalam mengawal Sri Lanka keluar dari krisis ekonomi.

Ekonomi Sri Lanka menghadapi utang dan runtuh setelah kehabisan uang yang berimbas pada krisis pangan, bahan bakar, dan obat-obatan. Krisis ini memicu protes selama berbulan-bulan.

Pemerintah Sri Lanka berutang 51 miliar dollar AS dan sedang berjuang untuk melakukan pembayaran bunga atas pinjaman tersebut, apalagi membayar pokok pinjaman.

Baca juga: Sri Lanka Bangkrut, Kepala CIA: Gara-gara Utang Bodoh ke China

Banyak analis menyuding krisis terjadi akibat salah urus dan korupsi selama bertahun-tahun, termasuk pinjaman sembrono dari China yang digunakan untuk mendanai proyek infrastruktur yang berubah menjadi proyek besar yang sia-sia.

Krisis utang diperburuk oleh beberapa kesalahan kebijakan lainnya, termasuk pemotongan pajak dalam yang diperkenalkan hanya beberapa bulan sebelum Covid-19 melanda dan transisi tiba-tiba ke pertanian organik yang membuat hasil panen anjlok.

Penurunan besar dalam pendapatan pariwisata sebagai sumber devisa vital juga ditengarai memperburuk krisis. Sektor pariwisata Sri Lanka terdampak setelah serangan teroris pada Paskah 2019 dan selama pandemi.

Ekonomi berada di jalur untuk berkontraksi sebanyak 8 persen tahun ini, sementara biaya banyak produk makanan dan bahan bakar telah meningkat tiga kali lipat dan mata uang telah runtuh hingga 80 persen.

Baca juga: Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe Dilantik, Dulu 6 Kali jadi Perdana Menteri

Bisakah dana talangan IMF menjamin?

Prioritas pertama bagi pemerintah baru adalah merestrukturisasi utang besar Sri Lanka. Negosiasi untuk bailout dari Dana Moneter Internasional (IMF) sudah berlangsung tetapi Sri Lanka akan membutuhkan restrukturisasi lebih lanjut dari pinjaman IMF yang ada serta yang lain dari Cina, India dan Jepang.

Paket penyelamatan apa pun kemungkinan akan datang dengan "ikatan", termasuk privatisasi perusahaan milik negara dan langkah-langkah penghematan yang lebih dalam.

"Kenyataannya adalah bahwa orang tidak dapat melakukan penghematan lagi,” ujar Ahilan Kadirgamar, seorang ekonom politik di Universitas Jaffna, kepada DW. "Banyak orang tidak memiliki bantalan sama sekali," ungkapnya, seraya menambahkan bahwa hampir dua pertiga orang Sri Lanka bekerja di ekonomi informal.

Kadirgamar skeptis tentang bailout IMF, mengatakan bahwa Kolombo akan berjuang untuk meningkatkan utang luar negeri ke depan karena biaya modal akan terlalu tinggi untuk negara yang baru saja gagal.

Baca juga: Presiden Baru Sri Lanka Peringatkan Akan Tindak Keras “Para Pembuat Onar”

Lebih banyak bantuan diperlukan untuk mencegah kelaparan

Ekonom telah meminta Wickremesinghe untuk menggunakan pendapatan devisa Sri Lanka, yang katanya berjumlah 1,3 hingga 1,5 miliar dollar AS per bulan, untuk memprioritaskan impor kebutuhan pokok seperti makanan, bahan bakar dan obat-obatan yang masih kekurangan pasokan.

Pemerintah juga harus meningkatkan pengeluaran defisit untuk mendanai bantuan lebih lanjut bagi masyarakat, di tengah meningkatnya ancaman kelaparan.

Pemerintahan Presiden sebelumnya, Gotabaya Rajapaksa, telah memperbaiki beberapa kesalahan kebijakan yang memicu krisis. Tetapi Sri Lanka membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membantu mendorong pemulihan.

Baca juga: Rakyat Sri Lanka Tolak Ranil Wickremesinghe jadi Presiden: Kami Akan Bertahan di Jalan!

Stimulus pertanian diperlukan

Kebijakan pertanian pemerintah Sri Lankaberdampak pada produksi teh yang menjadi komoditas ekspor negara itu.RAINER KRACK/CPA MEDIA via DW INDONESIA Kebijakan pertanian pemerintah Sri Lankaberdampak pada produksi teh yang menjadi komoditas ekspor negara itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com