Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ignatius B Prasetyo

A Masterless Samurai

Duka Kepergian Shinzo Abe dan Ancaman terhadap Demokrasi

Kompas.com - 14/07/2022, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HUJAN turun di Nara tanggal 9 Juli 2022, tepatnya di depan Stasiun Yamato Saidaiji. Akan tetapi orang terus berdatangan dan rela mengantre sepanjang 400 meter, untuk menaruh bunga atau sekadar berdoa di lokasi Abe Shinzo ditembak sehari sebelumnya.

Usianya masih tergolong muda, yaitu 67 tahun saat meninggal, jika kita memakai ukuran usia politisi Jepang.

Anda mungkin tahu bahwa dia juga pemegang rekor orang termuda yang menjadi Perdana Menteri (PM). Abe terpilih menjadi PM Jepang ke-90 pada bulan Oktober tahun 2006 dalam usia 52 tahun.

Yamagami Tetsuya menembak Abe dua kali pada pukul 11.30 waktu Jepang, menggunakan senapan rakitan.

Ini menyebabkan PM ke-96 sampai ke-98 kehilangan banyak darah. Dikabarkan ada dua luka di leher dan juga mengenai jantung.

Abe dilarikan ke Rumah Sakit Universitas Kedokteran Nara menggunakan helikopter, yang memakan waktu tempuh 20 menit dari tempat kejadian.

Para dokter di sana kemudian berusaha keras untuk menolongnya. Akan tetapi, nasib berkata lain. Dia menghembuskan napas terakhir sekitar 5 jam setelah tiba di rumah sakit, tepatnya pada pukul 17.03 waktu Jepang.

Kendaraan, kiri, membawa jenazah mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meninggalkan kuil Zojoji setelah pemakamannya di Tokyo pada Selasa, 12 Juli 2022.AP PHOTO/HIRO KOMAE Kendaraan, kiri, membawa jenazah mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe meninggalkan kuil Zojoji setelah pemakamannya di Tokyo pada Selasa, 12 Juli 2022.
Sebelum melanjutkan tulisan lebih jauh, saya ingin bercerita sedikit tentang Prefektur Nara. Kota ini meskipun kalah populer jika dibandingkan Kyoto, namun beberapa hal belum banyak diketahui orang. Misalnya, Nara sebenarnya mempunyai sejarah jauh lebih panjang.

Jika merunut sejarah, ibu kota Jepang zaman dahulu lokasinya berpindah-pindah. Prefektur Nara mempunyai banyak daerah yang dipakai sebagai ibu kota negara, dengan lokasi dan nama berbeda.

Untuk menyebut beberapa nama, sekitar tahun 710 ibu kota pindah dari Fujiwarakyou ke Heijokyou.

Setelah berpindah ke beberapa tempat, ibu kota kemudian pindah ke Kyoto dan berakhir di Tokyo sampai saat ini.

Nah, jika Anda ingin tahu bagaimana suasana Heijokyou, salah satu bekas ibu kota Jepang, maka Stasiun Yamato Saidaiji yang merupakan lokasi peristiwa menyedihkan itu terjadi, adalah akses terdekat.

Di sana Anda bisa melihat bangunan replika pada zaman tersebut, termasuk replika gerbang besar bernama Suzakumon di tengah-tengah kompleks. Gerbang ini merupakan pintu masuk ke pusat pemerintahan yang disebut Heijokyuu.

Beberapa orang terlihat masih melakukan penelitian dan penggalian di berapa lokasi kompleks, ketika saya mengunjunginya beberapa tahun lalu.

Baiklah kita kembali ke pokok tulisan. Abe Shinzo dikenal sebagai PM handal dalam hal diplomasi.

Kita tahu dia mempunyai banyak kolega mulai dari sesama PM maupun Presiden. Contohnya, kedekatannya dengan Trump saat masih menjadi presiden bahkan sampai saat ini, hubungannya dengan beberapa PM dari negara-negara di kawasan Eropa, juga dengan Presiden Rusia.

Kemahiran diplomasi mungkin sudah jadi kodratnya karena pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Seikei ini memang lahir dan besar di keluarga yang erat hubungannya dengan perpolitikan Jepang.

Ayahnya Abe Shintaro pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Kakeknya Kishi Nobusuke adalah PM ke-56. Pamannya Satou Eisuke merupakan PM Jepang ke-61. Abe terpilih pertama kali sebagai anggota kabinet pada tahun 1993.

Pria yang pernah berangan-angan menjadi sutradara film setelah pensiun dari dunia politik ini pernah ikut rombongan PM Koizumi Junichiro saat mengunjungi Korea Utara (Korut) pada tahun 2002.

Berdasarkan pengalaman tersebut, Abe kemudian menjadi orang yang gigih untuk mengusahakan kembalinya beberapa warga Jepang yang diculik oleh Korut.

Ada beberapa warisan yang ditinggalkan oleh pemegang total rekor terpanjang sebagai PM Jepang selama 3188 hari ini.

Pertama adalah kontribusinya dalam mengupayakan Jepang untuk keluar dari deflasi berkepanjangan dan memperbaiki ekonomi. Kita mengenalnya sebagai Abenomics.

Tiga hal pokok yang menjadi strategi (sanbon-no-ya dalam bahasa Jepang) Abenomics adalah pelonggaran kebijakan moneter, kebijakan fiskal yang fleksibel dan stimulus untuk mendorong investasi dari pihak swasta.

Kemudian Abe juga meninggalkan legacy sebagai PM dalam hal reformasi cara bekerja. Di antaranya adalah mengurangi jumlah jam kerja lembur dan memberi penalti bagi perusahaan yang melanggar.

Ini tentu hal positif, mengingat di Jepang beberapa orang meninggal karena kelelahan setelah bekerja terus menerus (dalam bahasa Jepang disebut karou-shi).

Saya tidak lupa atas jasa Abe karena telah menerima dua masker, yang merupakan barang langka saat pandemi melanda Jepang pertama kali pada tahun 2020. Meskipun beberapa orang ada yang menyindir dengan menamai masker dengan istilah abe-no-mask.

Kemudian sebagai orang asing yang sedang berkelana di Jepang, saya bisa menerima tunjangan pada saat pemerintahan Abe sebesar 100.000 Yen, melalui cara transfer ke rekening.

Meskipun begitu, ada warisan yang mungkin tidak populer bagi sebagian warga Jepang. Yaitu saat Abe memegang jabatan sebagai PM, ada dua kali kenaikan pajak konsumsi.

Pada tahun 2014, pajak naik dari 5 persen menjadi 8 persen. Setelah itu, pajak naik menjadi 10 persen pada tahun 2019, dan ini berlaku sampai sekarang (catatan: meskipun untuk beberapa jenis makanan dengan syarat tertentu, pajak 8 persen masih berlaku).

Sebagai ketua fraksi terbesar di Liberal Democratic Party (LDP, jimintou dalam bahasa Jepang), pria kelahiran Tokyo namun terdaftar sebagai warga Prefektur Yamaguchi ini memegang posisi penting.

Wajar saja jika PM Kishida Fumio mengatakan bahwa kepergian Abe merupakan kehilangan besar bagi LDP.

Pada hari nahas itu, Yamagami Tetsuya melepaskan tembakan dari jarak 5 sampai 10 meter. Saat ini, sedikit demi sedikit terkuak alasan mengapa pria pengangguran yang pernah terdaftar sebagai anggota Pasukan Pertahanan Laut Jepang dengan masa terbatas (3 tahun) itu, melepaskan tembakan dua kali ke arah Abe.

Pria pendiam berusia 41 tahun itu ternyata menaruh dendam. Keluarganya berantakan dan bangkrut secara ekonomi karena ibunya ikut salah satu sekte keagamaan di Jepang. Sekte ini kantor pusatnya berlokasi di Korea Selatan (Korsel).

Sebenarnya dia merencanakan untuk membunuh pemimpin sekte yang tinggal di Korsel. Dia berencana pergi ke Korsel untuk melaksanakan niatnya. Namun karena pandemi melanda dunia, maka pergerakan antarnegara menjadi terbatas.

Dia urung pergi dan otomatis kedatangan pemimpin pusat dari Korsel ke Jepang juga tidak bisa terlaksana.

Karena strategi membunuh pimpinan sekte pusat tidak bisa terlaksana, maka dia mengalihkan sasaran kepada Abe Shinzo.

Entah apa yang merasuk kepala Yamagami sehingga menyasar Abe, hanya karena video Abe pernah ditayangkan oleh organisasi non pemerintah yang berhubungan dengan sekte keagamaan tertentu.

Padahal saat ini hubungan Abe dan sekte tidak terbukti. Sungguh amat disayangkan, Yamagami menganggap adanya hubungan hanya dengan tayangan video.

Polisi Nara telah menggeledah rumah Yamagami, dan menemukan beberapa jenis senjata rakitan lain, serta bahan-bahan seperti pipa besi dan mesiu.

Dia ternyata telah merencanakan untuk melakukan penyerangan terhadap sekte agama itu sejak lama.

Satu hal yang menjadi pembicaraan hangat terkait tertembaknya Abe adalah, penjagaan polisi yang kurang ketat.

Onizuka Tomoaki, Direktur Kepolisian Prefektur Nara mengamini masalah penjagaan ini pada konferensi pers yang digelar sehari setelah peristiwa.

Kalau mengamati video yang diambil oleh warga pada saat kejadian, ada jeda waktu sekitar tiga detik dari suara tembakan pertama dan kedua.

Waktu tiga detik ini sangat menentukan, apalagi jika dalam keadaan darurat dan mencekam seperti pada hari kejadian.

Apalagi pada saat terjadi letusan pertama, Abe masih terlihat berdiri di podium kecil tempat dia berbicara.

Terlihat juga celah di belakang Abe dan hanya satu orang polisi yang berdiri membelakangi Abe untuk melihat pergerakan orang.

Apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Peristiwa keji tersebut terjadi saat partai politik di Jepang sedang mengadakan kampanye, sebelum diselenggarakannya pemilu untuk memilih anggota Majelis Tinggi Jepang (sangi-in).

Meskipun sedang bersaing dengan masing-masing manifesto politiknya, namun semua politisi baik dari partai penguasa maupun oposisi kompak bersuara bahwa kejadian tersebut merupakan ancaman terhadap demokrasi.

Mereka bertekad untuk bergeming atas ancaman yang terjadi, dan melawannya dengan tetap melancarkan kampanye terbuka pada tanggal 9 Juli dengan sedikit pengetatan keamanan.

Sejarah demokrasi memang belum begitu lama di Jepang, sejak marak didengungkan pada zaman Taisho (sekitar tahun 1910 sampai 1920).

Orang mengenal era tersebut sebagai Taisho Democracy. Gerakan ini terutama dimotori oleh Yoshino Sakuzou, dosen Universitas Tokyo.

Ada dua hal penting dikemukakan Yoshino dalam hubungannya dengan demokrasi. Pertama, tujuan politik adalah untuk kepentingan umum. Kedua, keputusan kebijakan politik sebaiknya berdasarkan kehendak masyarakat.

Berdasarkan pemilu yang baru saja berakhir, LDP keluar sebagai pemenang dengan menduduki kursi terbanyak di parlemen Majelis Tinggi Jepang. Jumlah kursi terbanyak ini bahkan tanpa tambahan kursi dari partai koalisinya, Komeito.

Akan tetapi tidak ada sorak kemenangan berlebihan terlihat di televisi saat siaran langsung penghitungan suara. Raut wajah Kishida Fumio yang mengamati jalannya penghitungan suara, maupun para politisi yang terpilih, tampak serius.

Di Jepang, kampanye pemilu yang menjadi pondasi demokrasi memang biasanya dilakukan secara terbuka. Caranya bemacam-macam.

Sedikit contoh, politisi mengunjungi berbagai kota, berkeliling di kompleks perumahan, berjalan kaki dari rumah ke rumah, juga berkampanye di depan stasiun kereta api maupun di tempat terbuka lain yang bisa menampung banyak orang.

Mereka sering berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Bersalaman dengan orang-orang yang hadir, bahkan foto bersama merupakan hal yang lumrah.

Abe Shinzo sudah pergi, namun segala warisan yang ditinggalkan akan diteruskan oleh penggantinya. Namanya akan diingat sebagai bagian dari sejarah perpolitikan di Jepang.

Politisi Jepang sepakat bahwa meskipun ancaman terhadap pemilu sebagai pondasi demokrasi itu sekarang ada secara nyata, sambil mengecam keras atas tindakan tersebut, mereka menyatakan akan melawan dan bergeming.

Sebagai penutup tulisan, saya berdoa agar Abe san bisa beristirahat dengan tenang. Gomeifuku wo o-inori shimasu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com