DALAM waktu hampir bersamaan, Filipina dan Korea Selatan (Korsel) memiliki presiden baru hasil pemilihan umum yang demokratis pada Mei dan Maret lalu. Pada 30 Juni 2022, Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr, mantan senator dan anak diktator Filipina Ferdinand Marcos Sr, dilantik menjadi presiden Filipina menggantikan Presiden Rodrigo Duterte. Yoon Suk-yeol, mantan Jaksa Agung Korea Selatan dan politikus dari partai konservatif, dilantik jadi presiden bulan lalu menggantikan Presiden Moon Jae-in dari Partai Demokrat yang liberal.
Kedua presiden itu dipilih langsung oleh rakyatnya, dengan Marcos Jr unggul telak (selisih sekitar 30 persen), sementara Yoon unggul tipis (di bawah 1 persen) atas lawannya. Terlepas dari adanya dugaan manipulasi dan disinformasi selama kampanye, juga kekhawatiran dari aktivis dan organisasi hak asasi manusia atas kemenangan mereka, kedua negara memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dalam proses demokratisasi dari rezim otoriter pada era 1980-an.
Baca juga: Marcos Jr Dilantik Jadi Presiden Filipina, Puji Pemerintahan Diktator Sang Ayah
Kedua hal itu kemudian berdampak besar dan berbeda cerita dalam membangun stabilitas demokrasi di dua negara demokrasi Asia tersebut. Persamaan pertama, demokrasi di dua negara itu datang setelah protes besar dari kekuatan rakyat menumbangkan presiden yang menindas lebih dari dua dekade. Rezim Ferdinand Marcos Sr, diktator Filipina dari 1965-1986, tumbang oleh kekuatan rakyat melalui Revolusi EDSA 1986. Di Korea Selatan, Presiden Chun Doo-hwan, yang melanjutkan periode otoriter dari Presiden Park Chung-Hee, tumbang karena desakan Gerakan Juni 1987.
Berangkat dari pengalaman buruk dan sejarah rezim otoriter, kedua negara (ini persamaan kedua) membatasi jabatan presiden hanya bisa berkuasa satu periode: di Filipina enam tahun, di Korea Selatan lima tahun. Mereka juga membangun pelembagaan politik untuk menunjang prinsip keseimbangan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, walau level efektivitas kelembagaan dan kinerjanya menunjukkan perbedaan yang signifikan di kedua negara.
Korea Selatan berhasil mengembangkan diri menjadi demokrasi yang stabil dan jaminan kebebasan setelah ekonominya maju sehingga muncul istilah “demokrasi gaya Korea Selatan”: ekonomi maju dulu, baru demokrasi datang. Sedangkan demokrasi di Filipina dikenal sebagai demokrasi yang berlumuran dengan darah, kekerasan, pembunuhan, kriminalisasi, pemberangusan kebebasan dan oposisi, dan korupsi akut.
Sehari sebelum rezim Duterte berakhir, pemerintahannya menutup Rappler, media online yang didirikan oleh Maria Ressa, jurnalis peraih Nobel Perdamaian 2021. Media ini kritis terhadap kebijakan Duterte, terutama kebijakan perang melawan narkotika yang menewaskan ribuan orang di luar pengadilan.
Maria dan medianya sebelumnya telah dikriminalisasi oleh rezim Duterte. Rendahnya kualitas demokrasi di Filipina ini bisa dilihat dari Indeks Demokrasi 2021 dari Economist Intelligence Unit (UIE) yang menggolongkan demokrasi Filipina masuk kategori flawed democracy, alias demokrasi yang cacat. Sedangkan demokrasi Korea Selatan diklasifikasikan sebagai full democracy.
Sedang demokrasi yang cacat atau tidak sempurna artinya ada pemilu reguler tapi kebebasan pers dibatasi, oposisi ditindas, dan ada banyak masalah dalam fungsi pemerintahan.
Adapun perbedaan yang paling mencolok dari sejarah demokratisasi kedua negara adalah kondisi negara saat demokrasi diraih. Transisi demokrasi di Korea Selatan terjadi dengan latar belakang negara kuat, ekonomi kuat, dan masyarakat kuat (Park, 2021). Negara yang kuat atau pemerintah yang kuat, dalam kasus Korea Selatan, membawa kepada pasar yang kuat dan masyarakat yang kuat.
Baca juga: Profil Yoon Suk-yeol, Presiden Baru Korsel yang Sebut Megawati dalam Pidato Pelantikannya
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.