Gurulyov kemudian mengisyaratkan bahwa Rusia memiliki keinginan untuk datang ke meja perundingan untuk menyelesaikan konflik.
Dia menekankan bahwa dalam "perang apa pun, Anda tidak bisa selalu menang," dan mengakui bahwa pada akhirnya pasti ada kekalahan.
Propagandists on Russian state TV advocate creating another Cuban Missile Crisis (this time, with hypersonic missiles) in order to extract concessions out of the U.S. They also propose total destruction of Ukraine's critical infrastructure and warn other countries: "You're next." pic.twitter.com/6j6D0zKIwV
— Julia Davis (@JuliaDavisNews) July 3, 2022
Namun, jurnalis Nadana Fridriksson, yang berbicara setelah Gurulyov, mengisyaratkan bahwa Rusia dapat menyerang negara lain setelah konflik Ukraina selesai.
"Negara-negara pasca-Soviet, yang memutuskan untuk bermain dengan kebarat-baratan, netralitas, mereka harus memahami bahwa mereka adalah yang berikutnya," katanya.
"Cepat atau lambat, kampanye Ukraina akan berakhir, setelah Ukraina, giliran negara lain akan datang," tambahnya.
Baca juga: Perdamaian Rusia-Ukraina, Bukan Sekali Tepuk Jadi
Newsweek yang mewartakan berita ini pada Senin (4/7/2022) telah menghubungi Gedung Putih dan Kementerian Luar Negeri Rusia untuk memberikan komentar.
Beberapa tahun terakhir, AS, Rusia, serta China semuanya berlomba untuk mengembangkan rudal hipersonik.
Sebuah rudal hipersonik dapat melaju dengan kecepatan Mach 5 (lima kali lebih cepat dari kecepatan suara) atau lebih tinggi.
Pada Kamis (30/6/2022), Pentagon mengumumkan kegagalan uji Common Hypersonic Glide Body (CHGB) di tengah kekhawatiran bahwa AS tertinggal dari Rusia dan China dalam mengembangkan senjata jenis ini.
Saat perang berkecamuk di Ukraina, Vladimir Putin telah berulang kali memamerkan tentang kehebatan senjata hipersonik negaranya.
Baca juga: Kerugian Terbaru Ukraina yang Dilaporkan Menteri Pertahaan Rusia ke Putin