Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Banyak Faktor di Balik Vitalitas Taliban

Kompas.com - 21/06/2022, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

CARTER Malkasian, yang beberapa tahun pernah menjadi penasehat salah seorang letnan jenderal Amerika Serikat (AS) di Afghanistan, dalam buku barunya The American War in Afganistan: A History (2021), meyakini bahwa alasan mendasar mengapa begitu sulit melemahkan Taliban adalah karena kaum Taliban memiliki keyakinan yang menjadi justifikasi moral untuk berjuang. Pejuang Taliban berperang atas nama keyakinan. Mereka berperang untuk janat (surga) dan untuk membunuh orang yang menurut mereka adalah infidel atau kafir (ghazi).

Tentu saja, bagi orang luar, hal semacam itu terdengar aneh di zaman modern ini. Tetapi bagi Taliban, boleh jadi memang keyakinan tersebut adalah alasan mereka untuk hidup dan berjuang. Karena itu, mereka akan membelanya sampai tetesan darah terakhir.

Baca juga: Taliban: AS Rintangan Terbesar Pengakuan Diplomatik

Sementara itu, kata Malkasian, tentara pemerintahan Afghanistan justri sebaliknya, mereka berperang demi uang, yakni uang dari pemerintah AS tentunya. Karena itu, tentara Afghanistan memiliki justifikasi moral yang sangat lemah dibanding Taliban.

Malkasian memberikan beberapa contoh teknis di lapangan yang dia temui di Afghanistan. Katanya, di lapangan selalu terjadi chit chat via radio walkie talkie antara tentara pemerintah Afganistan dengan Taliban. Mereka saling bully dan sindir.

Salah satu Komandan Taliban mengatakan kepada lawannya, “You are puppets of America.” Lalu tentara pemerintah Afghanistan membalas, “You are the puppets of Pakistan.” Kembali komandan Taliban membalas, “The Americans are infidels. The Pakistanis are Muslims.” Dan tentara pemerintahan Afghanistan diam seribu bahasa, tanpa respon.

Sejumlah praktik yang tidak konsisten

Bagaimanapun, contoh tersebut adalah cerita teknis yang ada di lapangan. Tapi secara teoritik, teori Malkasian masih perlu diuji karena tak ada alat ukur yang bisa memastikan bahwa obrolan sederhana tersebut adalah faktor pendorong utama yang membuat Taliban memiliki endurance dan survivability yang tinggi. Apalagi, cerita tersebut muncul dalam bentuk ledek-ledekan via walkie talkie, yang boleh jadi memang hanya sebentuk bully dan candaan, yang tidak ada kaitanya dengan keyakinan.

Sementara di lapangan, terutama di barisan bawah Taliban, tidak hanya percakapan seperti itu yang hadir. Ada juga beberapa fakta aneh yang justru tidak sejalan dengan ajaran Islam. Ada beberapa praktik yang terkadang membuat bingung. Misalnya ada informasi dari lapangan, sebagaimana ditulis Hasan Abbas dalam bukunya The Taliban Revival (2016) bahwa ada praktik wife sharing (berbagi istri) di antara sesama tentara Taliban. Ada pula dalih untuk tidak melakukan shalat karena diperbolehkan selama masa perjuangan. Kedua cerita ini tentunya tidak cocok dengan ajaran Islam yang dipahami banyak muslim.

Begitu pula dengan masalah perdagangan candu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Taliban menjadi backing, bahkan eksekutor, perdagangan candu (heroin) terbesar di dunia saat ini. Penghasilan Taliban dari perdagangan candu tercatat jutaan dollar dalam beberapa tahun belakangan. Korban yang paling parah adalah Iran, yang berbatasan langsung dengan Afghanistan. Iran memiliki angka kecanduan narkoba tertinggi di dunia.

Baca juga: Utusan HAM PBB Desak Taliban Cabut Pembatasan Terhadap Perempuan

Wanita Afghanistan turun ke jalan, suarakan protes pada Taliban.AFP/Mohd Rasfan Wanita Afghanistan turun ke jalan, suarakan protes pada Taliban.
Jadi, fakta-fakta ini jelas membuat teori Carter Malkasian menjadi agak sulit untuk divalidasi. Menempatkan adanya keyakinan sebagai faktor pendorong utama Taliban bisa bertahan, berjuang dan tetap konsisten merebut kembali Afghanistan, menurut saya, tidak sepenuhnya bisa diterima secara empirik.

Faktor percaya diri?

Sementara itu, Christina Lamp, yang menulis buku laris Malala bersama dengan Malala Yousafzai (tentang perjuangan seorang perempuan di era Taliban), menulis di majalah Foreign Affair edisi Juli/Agustus 2021 untuk menanggapi buku baru Carter Malkasian, meyakini bahwa faktor pendorong utama Taliban bukanlah keyakinan, tapi justru kepercayaan diri yang sudah diasah melalui sejarah, yakni bahwa Taliban memiliki track record dan sejarah mengalahkan negara adidaya, sebut saja misalnya Britania Raya dan Soviet.

Kesimpulan tersebut dia dapat dari percakapan demi percakapan yang dilakukan dengan pejuang Taliban selama melakukan liputan di Afghanistan. Jadi, menurut Christina, kehadiran kepercayaan diri tersebut membuat Taliban tetap konsisten dan persisten untuk terus berjuang mengusir penjajah, termasuk AS.

Pejuang Taliban berjaga di sebuah masjid pada hari pertama Idul Fitri di Kabul, Afghanistan, Minggu, 1 Mei 2022.AP PHOTO/EBRAHIM NOROOZI Pejuang Taliban berjaga di sebuah masjid pada hari pertama Idul Fitri di Kabul, Afghanistan, Minggu, 1 Mei 2022.
Pandangan Christina Lamp justru lebih absurd dan sulit diukur secara teoritik. Kepercayaan diri semacam itu bisa dengan mudah luntur jika faktor-faktor lainya tak ada di lapangan. Katakanlah bagaiamana misalnya jika AS berhasil membangun pemerintahan sipil dan kekuatan militer Afghanistan, atau jika tidak ada dukungan dari ISI (Badan Intelejen Militer) Pakistan, atau jika tidak dilepaskannya Abdul Ghani Baradar dari penjara oleh pemerintahan Donald Trump tahun 2018 untuk duduk bersama di Doha, atau jika kondisi kontur dan geografi Afghanistan tidak sesulit itu, dan atau faktor geopolitik yang membuat Taliban memiliki daya tawar tinggi jika AS menolak untuk bernegosiasi dengan Taliban, karena Taliban ternyata bisa dengan mudah membangun jalur komunikasi dengan Beijing dan Moskwa, yang menjadi kompetitor strategis AS.

Gabungan sejumlah faktor

Tentu bisa dengan mudah dibayangkan jika faktor-faktor tersebut tidak ada, maka sangat besar kemungkinan Taliban tidak akan seagresif hari ini. Sebut saja misalnya jika AS berhasil membangun pemerintahan sipil yang didukung oleh kekuatan militer Aghanistan yang tangguh, atau jika Abdul Ghani Baradar masih berada di dalam penjara sempai hari ini, atau jika Pakistan tidak menyediakan sanctuary untuk pejuang-pejuang Taliban dan Al Qaeda yang mundur ke Pakistan di tahun 2001, tentu situasinya akan jauh berbeda hari ini, Taliban berkemungkinan besar masih tercecer di banyak tempat persembunyian.

Apalagi, jika Moskwa dan Beijing sama sekali tidak membuka jalur komunikasi dengan Taliban, dengan alasan yang sama dengan yang dimiliki hari ini oleh AS, maka Taliban dipastikan tidak memiliki alternatif aliansi strategis untuk tetap berjuang sendiri di lapangan melawan pemerintahan Ashraf Ghani yang didukung oleh AS dan NATO.

Jadi saya kira, keberhasilan Taliban melakukan “aksi come back” yang cukup impresif tahun lalu adalah dampak dari banyak faktor yang sangat bisa divalidasi secara teoritik. Hampir semua faktor tersebut adalah keberuntungan tersendiri bagi Taliban, yang membawanya kembali bertahta di Kabul.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

[POPULER GLOBAL] Sejarah Kelam Serangan Israel di Iran | Aksi Pria Perancis Lawan Penikam di Sydney

[POPULER GLOBAL] Sejarah Kelam Serangan Israel di Iran | Aksi Pria Perancis Lawan Penikam di Sydney

Global
Menlu China Wang Yi Akan ke Indonesia Pekan Ini

Menlu China Wang Yi Akan ke Indonesia Pekan Ini

Global
Ukraina Kehabisan Rudal untuk Lindungi Pembangkit Listrik Utama

Ukraina Kehabisan Rudal untuk Lindungi Pembangkit Listrik Utama

Global
Bom-bom Israel Seberat 453 Kg Ditemukan di Sekolah-sekolah Gaza

Bom-bom Israel Seberat 453 Kg Ditemukan di Sekolah-sekolah Gaza

Global
Israel Lancarkan Serangan Diplomatik ke Iran, Minta 32 Negara Jatuhkan Sanksi

Israel Lancarkan Serangan Diplomatik ke Iran, Minta 32 Negara Jatuhkan Sanksi

Global
Terumbu Karang Dunia Alami Pemutihan Massal, Ada Apa?

Terumbu Karang Dunia Alami Pemutihan Massal, Ada Apa?

Global
Lawrence Wong Akan Jadi PM Baru Singapura pada 15 Mei 2024

Lawrence Wong Akan Jadi PM Baru Singapura pada 15 Mei 2024

Global
NASA Ungkap Asal-usul Benda Luar Angkasa yang Tembus Atap Rumah Warga AS

NASA Ungkap Asal-usul Benda Luar Angkasa yang Tembus Atap Rumah Warga AS

Global
Restoran Italia Tawarkan Sebotol Anggur Gratis pada Pelanggan yang Tak Main Ponsel

Restoran Italia Tawarkan Sebotol Anggur Gratis pada Pelanggan yang Tak Main Ponsel

Global
Perjalanan Hubungan Israel dan Iran, dari Sekutu Jadi Musuh

Perjalanan Hubungan Israel dan Iran, dari Sekutu Jadi Musuh

Internasional
Rangkuman Hari Ke-782 Serangan Rusia ke Ukraina: PLTN Hampir Terjadi Insiden | Biden Ajukan Permohonan Bantuan

Rangkuman Hari Ke-782 Serangan Rusia ke Ukraina: PLTN Hampir Terjadi Insiden | Biden Ajukan Permohonan Bantuan

Global
Surat Kabar Lebanon Perkenalkan Presiden AI demi Pecah Kebuntuan Politik

Surat Kabar Lebanon Perkenalkan Presiden AI demi Pecah Kebuntuan Politik

Global
Badan Nuklir PBB: Sikap Sembrono Rusia-Ukraina di PLTN Zaporizhzhia Bahayakan Dunia

Badan Nuklir PBB: Sikap Sembrono Rusia-Ukraina di PLTN Zaporizhzhia Bahayakan Dunia

Global
Pria Perancis yang Melawan Pelaku Penikaman Massal Sydney Dijanjikan Visa Australia

Pria Perancis yang Melawan Pelaku Penikaman Massal Sydney Dijanjikan Visa Australia

Global
PBB: Iran Tutup Fasilitas Nuklir Usai Serang Israel

PBB: Iran Tutup Fasilitas Nuklir Usai Serang Israel

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com