Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Tanpa Donald Trump Memang Tak Ramai

Kompas.com - 05/06/2022, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KARENA cukup sering menulis status di media sosial tentang Donald Trump menjelang pemilihan presiden Amerika 3 November 2020 lalu, walaupun dalam rangka lucu-lucuan, pada akhirnya seorang kawan dari Seattle, Amerika, bertanya kepada saya.

"Bro, just wondering, why do you talk more about Trump than Biden?" tanya dia.

"Hahahhaha", balas saya sembari senyum sekaligus otak kiri terasa agak gatal karena bingung mau menjawab apa.

"Oh come on, it's ok to be honest, it's ok if he is your favorite one in the next race?" katanya agak memaksa.

Hmmm... Dalam hati, duh nih anak kepo banget, pakai maksa pula. Berasa seperti anak SD saat ditanya guru jadinya.

"Tell me," desaknya.

"Hahaha, what the hell are you thinking of me? One of Trumpism Fans?" balas saya dengan sedikit kesal.

"I am listening. Tell me more," kata dia.

"Hmmm."

"Come on."

"Ok. You know, I really love good stand up comedy and he is one of the best stand up comedian I ever watch," ujar saya.

"What????"

"Yeah. I dont need to think deeply about everything he said, just need smile and laugh. When it comes to Biden, oh Gosh, I need to think hard. He is a kind of intelectual. I almost read all of his ideas on Foreign Affair Magazine. Those are very serious, you know."

"Hahaha. But by the way. He is my president," katanya sedikit kesal, karena presidennya saya anggap seorang komika.

"I dont care, not mine."

"Yeah, Jokowi is not my president too and he is a kind of cute and funny. Unfortunately, he is a bad stand up comedian, I guess," timpalnya.

"Hahaha, I dont care too."

"Hahahahaha," balasnya dengan tawa.

Begitulah garis besar dialog kami sekira dua bulan menjelang Pilpres Amerika 2020 lalu.

Saya akui, ada bagian-bagian yang saya suka dari Donald Trump, tapi sangat teknis sifatnya. Walaupun itu tidak menjadikan saya sebagai seorang fan Donald Trump secara ideologis.

Salah satu yang saya suka adalah sikap refleknya dalam mengatakan,"Thank, I appreciate it". Sangat sering, hampir ada dalam setiap preskonnya di sesi tanya jawab.

Mungkin ini kata-kata yang sudah jarang saya dengar di Indonesia. Sudah jarang orang mengatakan "terima kasih atau menghargai orang lain sebagaimana mestinya" di Indonesia.

Walaupun dalam konteks Donald Trump, kata-kata tersebut berlaku bagi orang-orang yang mendukungnya atau wartawan yang memberikan berita baik untuk Gedung Putih.

"Thank, I appreciate it". Ini adalah kebalikan dari sikapnya yang "straight to the point" dalam menyerang lawan, tanpa basa-basa basi, door!! Langsung ke nama lawanya.

Sebut saja, misalnya, saat ia menyebut Joe Biden dengan sebutan Sleepy Joe, Nasty Kamala, Crooked Hillary, Grazy Bernie, Phocahontas Elizabeth Warren, dan lain-lain.

Selain itu, yang saya suka, Donald Trump menghafal nama orang dengan baik. Kalau Anda pernah ikut atau menonton acara live perjalanan dinasnya ke negara-negara bagian sebelum dan di saat kampanye saat masih menjabat presiden, Anda akan melihat Trump menyebut dan memuji senator, anggota House of Representative, gubernur, wali kota, tokoh, baik lokal mau pun federal, yang berasal dari negara bagian tersebut, tanpa melihat teks, dan dipujinya satu per satu di depan publik (on the stage).

Juga, saya cukup suka dengan backsound lagu-lagu rock di setiap panggung sebelum speech Donald Trump di luar gedung putih.

Mulai dari rock klasik sampai punkrock, pernah bergema dari speaker acara-acara Donald Trump, dan biasannya diakhiri dengan lagu God Bless USA, sebelum Donald Trump memulai speech.

Lagu terakhir adalah perlambang cinta dan loyalitas kepada Amerika di satu sisi, tapi juga raungan nasionalisme dalam bentuk alunan musik dan lirik di sisi lain, yang sangat singkron dengan platform (nyaris) ultranasionalisme Donald Trump.

Dan selanjutnya kelebihan Trump yang saya perhatikan adalah bahwa ia bisa dengan mudah memberikan microphone kepada orang yang sedang bersamanya (artinya menyerahkan podium presiden sekaligus).

Siapapun itu, tanpa melihat status dan level, untuk bicara langsung di podium seorang presiden.

Di panggung di mana ia sering mengekspresikan pernyataan yang dinilai banyak pihak rasis, divisif, dan menghina, justru di sana pula ia sering mempraktikkan sikap egaliter yang cukup layak dihargai.

Dan terakhir sekaligus yang paling saya suka adalah terkait dengan stand up komedi. Donald Trump adalah peniru yang baik.

Ini adalah salah satu teknik stand up, kerab dikenal dengan teknik impersonate. Trump bisa menirukan gaya Joe Biden saat berbicara pelan layaknya orang yang sedang mengantuk.

Trump juga sering menirukan cara bicara Biden yang santai, tapi diimprovisasi dengan gaya lunglai oleh Trump, gaya kakek-kakek berbicara sembari mengantuk. Karena itu, Trump menyebut Biden dengan sebutan "Sleepy Joe".

Trump juga pernah mempraktikkan saat ia sedang berbicara dengan Muhamad Bin Salman, Crown Prince Arab Saudi, via telpon.

Trump mereka ulang bagaimana ia berbicara dengan MBS secara santai, memuji sang diktator dan menyebutnya "friend of mine", lalu mengatakan bahwa di satu sisi selama ini Amerika selalu berusaha melindungi Arab sebagai salah satu "ally" strategis Amerika, dan di sisi lain Arab punya banyak uang.

Maka dari itu, Arab harus menambah belanja persejataan dari Amerika. Lalu Trump memuji dirinya sendiri karena telah menggoalkan sebuah penjualan bernilai besar dengan sekali telpon.

Sementara Joseph H Biden, saya perlu memberi komentar yang serius. Saya nyaris sudah membaca semua tulisannya di majalah Foreign Affair, pun bukunya, walau boleh jadi bukan beliau yang menulis, termasuk tulisan-tulisannya bersama Jhon Carpenter.

Semuanya serius, sama seperti tulisan-tulisan Mr Al Gore, wakil presiden Bill Clinton.

Kalau saya seriusi juga, maka saya akan gagal menjadikan Amerika sebagai bahan tertawaan, toh, salah satu perspektif yang sangat jarang dipakai orang untuk melihat Amerika, yang membuat orang seperti saya, yang notabene bukan orang Amerika, bisa menikmati Amerika dari sisi kelucuan yang sangat nikmat.

Dan sayangnya, Donald Trump sudah kehilangan hampir dua pertiga panggungnya, karena sudah tidak lagi menjadi Presiden Amerika.

Amerika akan kehilangan satu status supernya setelah Donald Trump keluar dari Gedung Putih, yakni negara super lucu.

Bagaimana tidak. Saya masih ingat bagaimana Donald Trump bermain-main atau "Playing down" virus Corona, meskipun tujuannya baik.

Donald Trump mengetahui dan memahami sedari awal bahwa CoronaVirus sangat berbahaya dan mematikan.

Pada tanggal 7 Februari 2020, Donald Trump mengatakan pada Bob Woodward, "the coronavirus is “deadly stuff” and “more deadly than even your strenuous flus.”

Tapi karena Trump menganggap China melakukan "Covering Up" di tengah ketegangan trade war pula, plus hasil research tentang tingkat hostility masyarakat Amerika terhadap China yang 70 persen lebih, membuat Trump memilih memperlihatkan sikap meremehkan terhadap Virus Corona, bahkan cenderung terlihat mempermainkannya dengan kata-kata yang agak lucu.

Trump beberapa kali mengulang kata yang pernah diucapkan seorang senator Republikan, "Kung Flu", dan di setiap jumpa pers atau di panggung kampanye, Trump menyebutnya dengan kata "China's Virus"

Tapi apa sebenarnya latar belakang sikap beliau, mengapa dikatakan tujuannya baik?

Kembali pada wawancaranya dengan Bob Woodward tanggal 19 Maret 2020 lalu, saat ditanya mengapa beliau terlihat "playing down" virus corona. Trump menjawab, “I still like playing it down, because I don’t want to create a panic.”

Dan Joe Biden agaknya mengetahui ketika itu kalau Trump memang sengaja "Playing Down" virus corona.

Konon Joe mengetahui setelah mendengar rekaman percapakan Woodward dengan Trump. Jadi saat bicara pada khalayak di Michigan setelah wawancara Donald Trump tersebut, Joe Biden dengan serius berkomentar, “He failed to do his job on purpose. It was a life-and-death betrayal of the American people.”

Pun saya masih ingat saat Donald Trump membela Rusia di Ukraina. Di akhir 2017 jelang 2018, DoD (Departement of Defense) dan Pentagon hampir sepakat untuk mengirim senjata antitank "Javelin" ke Ukraina.

Laporan masuk ke Rex Tillerson, yang menjabat sebagai Secretary of State kala itu. Tillerson lalu pergi ke ruangan presiden Trump, menyampaikan laporan tersebut dan menawarkan kepada Trump opsi untuk mengirim Javelin ke Ukraina.

Trump secara reaktif menjawab: "Are you out of your fucking mind? Why are we giving them anything?”

Jawaban itu dengan jelas bermakna bahwa jika Javelin dijual ke Ukraina, maka Putin benar-benar akan tersinggung, dan Trump menghindari itu.

Ini adalah seteru awal Rex Tillerson dan Trump. Perbedaan terus berlanjut pada keputusan Trump untuk keluar dari Paris Climate Accord dan diikuti dengan keputusan untuk menarik diri dari JCPOA terkait denuklirisasi iran. Rex Tillerson benar-benar tak bisa lagi membela sang presiden.

Bahkan, keluar kata-kata keras dari mulutnya, dengan menyebut Donald Trump dengan sebutan "Fucking Morron".

Pertentangan makin meruncing saat Tillerson tak sepaham dengan presiden soal kekuasaan besar yang diberikan kepada Jared Kushner.

Di waktu yang bersamaan, Mike Pompeo sedang mengincar posisi State Secretary, karena merasa kurang pas sebagai direktur CIA.

Dan di pertengahan 2018 sinyal keluar dari Jared Kushner untuk menarik Pompeo. Lalu saat Tillerson baru saja kembali dari Eropa, ia membaca tweet sang presiden atas pemecatan dirinya.

Tillerson selesai, Pompeo jadi State Secretary. Memecat menteri hanya via tweet, bukankan super lucu!!

Bagi Rusia, boleh jadi Donald Trump dianggap hanya sebagai aset, yang sering memberi "hadiah" pada Rusia dalam kontek geopolitik, tapi sebenarnya Donald Trump bukan presiden yang mudah untuk dipermainkan.

Bahkan Putin pernah mengatakan tahun 2019 lalu bahwa: "Negotiating with Team Trump is like playing chess with a pigeon: the demented bird walks all over the chessboard, shits indiscriminately, knocks over pieces, declares victory, then runs away."

Dengan kata lain, Putin pun pusing tujuh keliling berhadapan dengan Trump.

Jadi terlepas orang mau bilang apa soal "Trump's Foreign Policy," sampai-sampai lebih dari 70 puluhan pakar di NSA yang pernah kerja dengan pemerintahan republikan pindah dukungan ke Biden, intinya Trump adalah juga seorang pebisnis yang rasional.

Trump sangat menikmati berbisnis dengan oligar-oligar Rusia, karena dapat untung besar.

Saat ingat tahun 2016 saat Trump wawancara dengan ABC News, soal keberhasilannya menjual Villa Palm Beach seluas 6 hektar ke oligar Rusia, Dmitry Rybolovlev.

“The primary thing I did with Russia, I bought a house in Palm Beach at a bankruptcy,” kata Trump.

“I bought it for about $40 million. I sold it for $100 million to a Russian,” tambah dia.

Bukankah itu sangat cerdik dan rasional?

Dan segala alat bukti atas kasus intervensi Rusia, memang sangat banyak, tapi kurang terlalu meyakinkan untuk diarahkan kepada Trump.

Termasuk diarahkan pada upaya Rusia untuk memengaruhi kebijakan Trump dalam mengurangi sanksi ekonomi pada Rusia setelah sengketa Georgia dan Ukraina.

Alat bukti paling banyak mengarah pada keterlibatan online dalam pemilihan presiden Amerika 2016.

Karena itu, Trump dengan pede menyebut proses tersebut dengan istilah " Witch Hunt", semacam berburu makluk gaib. Dan memang panjang banget kalau dibahas hasil investigasinya.

Intinya, bagi saya, setelah Trump tak berkuasa lagi di Amerika, saya merasa ada yang hilang. Memang tak ramai kalau tanpa Donald Trump.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com