Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Covid-19 di Korea Utara, Pemerintah Klaim Terkendali, Warga Mengaku Sulit Dapat Obat Demam

Kompas.com - 04/06/2022, 10:05 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

 

PYONGYANG, KOMPAS.com - Tiga pekan setelah Korea Utara mengumumkan kasus Covid-19 pertamanya, pemerintah mengeklaim wabah itu kini terkendali.

Namun, rincian tentang kondisi Covid-19 di negara tersebut saat ini masih tetap misterius.

BBC telah mengumpulkan informasi, baik melalui percakapan dengan orang-orang yang berhasil berkomunikasi dengan mereka yang tinggal di Korea Utara maupun menggunakan sumber yang tersedia secara umum.

Baca juga: WHO: Wabah Covid-19 di Korea Utara Semakin Buruk

Suara-suara dari dalam Korea Utara

Kim Hwang-sun duduk sendirian di dapurnya di Seoul, Korea Selatan, ketika teleponnya berdering.

Seorang perantara dari China mengabarkan berita yang telah lama dia tunggu-tunggu.

Keluarganya di Korea Utara akhirnya bisa dihubungi.

Sudah 10 tahun lamanya Hwang-sun melarikan diri sendirian dari kampung halamannya di Korea Utara.

Dua anak, beberapa cucu, dan ibunya yang berusia 85 tahun masih hidup di negara itu.

Dia mengaku sudah putus asa berupaya mengeluarkan mereka.

Panggilan telepon rahasia ini adalah satu-satunya cara komunikasi yang dia bisa lakukan dengan keluarganya.

Dia paham bahwa dia tidak bisa berbicara terlalu banyak demi berjaga-jaga jika percakapannya disadap.

Baca juga: Jet Tempur China Dituding Ganggu Pesawat Kanada saat Berpatroli Awasi Korea Utara

Dia pun berusaha membuat percakapannya singkat, tak lebih dari lima menit.

Dua hari sebelumnya, Korea Utara mengumumkan kasus virus Corona pertamanya.

Data yang dirilis pemerintah -hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya- menunjukkan virus itu menyebar dengan cepat ke penjuru negara itu.

"Mereka berkata banyak orang menderita demam," ujar Hwang-sun.

"Saya mendapat firasat itu sangat buruk. Mereka berkata semua orang berjalan di jalanan meminta obat kepada siapapun yang mereka temui," ungkap dia.

"Semua orang mencari sesuatu yang bisa memulihkan demam mereka, tapi tak ada yang bisa menemukan apa pun," ungkap Hwang-sun.

Dia tidak berani bertanya pada keluarganya tentang jumlah orang yang sekarang.

Jika mereka diketahui berbicara tentang kematian, itu bisa dianggap mengkritik pemerintah, dan dia khawatir keluarganya akan dibunuh karenanya.

Sejauh ini, sekitar 15 persen dari populasi menderita sakit yang disertai dengan "demam", merujuk pada data resmi pemerintah.

Baca juga: WHO Prediksi Covid-19 Korea Utara Semakin Parah, Tak Yakin Soal Klaim Rezim Kim Jong Un

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menyadari adanya kekurangan pasokan obat dan memerintahkan militernya untuk mendistribusikan persediaan obat.

Menurut Hwang-sun, rumah sakit dan apotek di Korea Utara tak memiliki persediaan obat selama bertahun-tahun.

Dalam foto yang disediakan oleh pemerintah Korea Utara, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, kiri depan, membawa peti mati Marsekal Tentara Rakyat Korea Hyon Chol Hae di Rumah Kebudayaan 25 April di Pyongyang, Korea Utara Minggu, 22 Mei 2022. KCNA via KNS/AP PHOTO Dalam foto yang disediakan oleh pemerintah Korea Utara, pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, kiri depan, membawa peti mati Marsekal Tentara Rakyat Korea Hyon Chol Hae di Rumah Kebudayaan 25 April di Pyongyang, Korea Utara Minggu, 22 Mei 2022.

Yang dilakukan oleh para dokter, kata dia, adalah hanya menuliskan resep obat, namun terserah pada pasien di mana mereka mendapatkan atau membeli obat itu, baik dari seseorang yang menjual obat itu secara langsung, atau membeli di pasar setempat.

"Jika Anda memerlukan obat bius untuk operasi, Anda harus pergi ke pasar untuk mendapatkannya dan kembali ke rumah sakit?" ungkap Hwang-sun.

"Tapi sekarang bahkan penjual di pasar tidak memiliki apa-apa. Pemerintah berkata pada kami untuk merebus daun pinus dan meminum ramuannya," kata Hwang-sun berceria apa yang dikatakan oleh keluarganya.

Baca juga: Di Tengah Gelombang Covid-19 Terburuk, Korea Utara Klaim Mampu Atasi Kekeringan

Laporan media pemerintah juga menyarankan warga berkumur air garam untuk mengurangi gejala.

"Itu yang terjadi jika mereka tak memiliki persediaan obat. Mereka beralih ke pengobatan tradisional," ungkap Dr Nagi Shafik, yang bekerja untuk organisasi PBB yang membidangi isu anak-anak (UNICEF) di pedesaaan Korea Utara sejak 2001.

Ketika dia terakhir kali berada di negara itu, pada 2019, persediaan obat sudah menipis.

"Ada beberapa, tapi sangat, sangat sedikit," kata Shafik.

Hampir semua obat di Korea Utara diimpor dari China dan dalam dua tahun terakhir perbatasan kedua negara yang ditutup membuat pasokan persediaan obat impor terhenti.

Sokeel Park, dari organisasi Liberty di Korea Utara, membantu para pelarian dari negara itu untuk menetap di Korea Selatan.

Park berkata, para pelarian yang berhasil berkomunikasi dengan keluarga di kampung halaman mengatakan padanya bahwa obat-obat sudah habis.

"Sisa persedian yang tinggal sedikit sudah dibeli, membuat harganya meroket," ujar Park.

Baca juga: Kali Pertama, Temuan Kasus Demam di Korea Utara di Bawah 100.000

Karantina nasional

Pemerintah memerintah lockdown (karantina) nasional di hari yang sama wabah diumumkan.

Hal itu memicu kekhawatiran warganya -yang kesulitan mencari makan- akan mengalami kelaparan.

Namun, setidaknya beberapa dari warga Korea Utara tampak bisa meninggalkan rumah mereka untuk bekerja dan bertani.

Foto-foto yang diambil di perbatasan Korea Utara dan Selatan oleh situs pemantau NK News menunjukkan beberapa orang bertani di ladang pada hari-hari setelah karantina diberlakukan.

Namun, di tempat-tempat dengan tingkat infeksi yang tinggi, termasuk ibu kota Pyongyang, orang-orang dilaporkan dikurung di rumah mereka.

Baca juga: Korea Selatan: Korea Utara Tembakkan 3 Rudal Balistik ke Arah Laut Jepang

Lee Sang-yong adalah orang dibalik Daily NK, situs yang berbasis di Seoul. Medianya memiliki jaringan sumber di dalam Korea Utara.

Sejauh ini, hanya 70 kematian akibat Covid dilaporkan pemerintah secara resmi.

Angka itu menjadikan tingkat fatalitas kasus (fatality rate) di Korea Utara sebesar 0.002 persen -angka terendah di seluruh dunia.

"Bagi sebuah negara dengan sistem kesehatan yang buruk, di mana tidak ada orang yang divaksinasi, angka ini tidak masuk akal," kata Martyn Williams, yang telah melacak data untuk platform analisis 38 North.

Williams menunjukkan adanya keanehan lain. Angka kematian memuncak sementara kasus masih meningkat.

"Kita tahu dalam hal kasus Covid-19, kasus kematian cenderung mengikuti kasus infeksi dua hingga tiga pekan," jelas dia.

"Jadi, kami tahu angka-angka ini salah, tetapi kami tidak tahu mengapa," tambah Williams.

Dia kemudian menjelaskan bahwa, selain pelaporan yang keliru di tingkat nasional, pejabat kesehatan setempat juga kemungkinan tidak mau mengakui berapa banyak orang meninggal akibat Covid-19 karena kekhawatiran akan mendapat hukuman.

Baca juga: Setelah Temukan 2,95 Juta Kasus Demam, Korea Utara Kini Klaim Situasi Virus Terkendali

Dia menuturkan, di kota Hyesan yang berada di perbatasan Korea Utara dengan China, orang-orang tidak diizinkan meninggalkan rumah selama 10 hari pada Mei lalu.

Ketika karantina akhirnya dicabut, menurut sumber Sang-yong, lebih dari belasan orang ditemukan dalam kondisi pingsan di rumah mereka.

Badan mereka melemah karena kekurangan makanan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Rangkuman Hari Ke-791 Serangan Rusia ke Ukraina: Bantuan Baru AS | Kiriman Rudal ATACMS

Rangkuman Hari Ke-791 Serangan Rusia ke Ukraina: Bantuan Baru AS | Kiriman Rudal ATACMS

Global
AS Diam-diam Kirim Rudal Jarak Jauh ATACMS ke Ukraina, Bisa Tempuh 300 Km

AS Diam-diam Kirim Rudal Jarak Jauh ATACMS ke Ukraina, Bisa Tempuh 300 Km

Global
[POPULER GLOBAL] Demo Perang Gaza di Kampus Elite AS | Israel Tingkatkan Serangan

[POPULER GLOBAL] Demo Perang Gaza di Kampus Elite AS | Israel Tingkatkan Serangan

Global
Biden Teken Bantuan Baru untuk Ukraina, Dikirim dalam Hitungan Jam

Biden Teken Bantuan Baru untuk Ukraina, Dikirim dalam Hitungan Jam

Global
Israel Serang Lebanon Selatan, Sasar 40 Target Hezbollah

Israel Serang Lebanon Selatan, Sasar 40 Target Hezbollah

Global
Situs Web Ini Tawarkan Kerja Sampingan Nonton Semua Film Star Wars, Gaji Rp 16 Juta

Situs Web Ini Tawarkan Kerja Sampingan Nonton Semua Film Star Wars, Gaji Rp 16 Juta

Global
Wanita Ini Didiagnosis Mengidap 'Otak Cinta' Setelah Menelepon Pacarnya 100 Kali Sehari

Wanita Ini Didiagnosis Mengidap "Otak Cinta" Setelah Menelepon Pacarnya 100 Kali Sehari

Global
Kakarratul, Tikus Tanah Buta yang Langka, Ditemukan di Pedalaman Australia

Kakarratul, Tikus Tanah Buta yang Langka, Ditemukan di Pedalaman Australia

Global
Kisah Truong My Lan, Miliarder Vietnam yang Divonis Hukuman Mati atas Kasus Penipuan Bank Terbesar

Kisah Truong My Lan, Miliarder Vietnam yang Divonis Hukuman Mati atas Kasus Penipuan Bank Terbesar

Global
Wakil Menteri Pertahanan Rusia Ditahan Terkait Skandal Korupsi

Wakil Menteri Pertahanan Rusia Ditahan Terkait Skandal Korupsi

Global
Olimpiade Paris 2024, Aturan Berpakaian Atlet Perancis Berbeda dengan Negara Lain

Olimpiade Paris 2024, Aturan Berpakaian Atlet Perancis Berbeda dengan Negara Lain

Global
Adik Kim Jong Un: Kami Akan Membangun Kekuatan Militer Luar Biasa

Adik Kim Jong Un: Kami Akan Membangun Kekuatan Militer Luar Biasa

Global
Bandung-Melbourne Teken Kerja Sama di 5 Bidang

Bandung-Melbourne Teken Kerja Sama di 5 Bidang

Global
Mengenal Batalion Netzah Yehuda Israel yang Dilaporkan Kena Sanksi AS

Mengenal Batalion Netzah Yehuda Israel yang Dilaporkan Kena Sanksi AS

Global
Mengapa Ukraina Ingin Bergabung dengan Uni Eropa?

Mengapa Ukraina Ingin Bergabung dengan Uni Eropa?

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com