Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Lanka Naikkan Harga BBM Capai Rekor Tertinggi

Kompas.com - 24/05/2022, 13:29 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

Sumber Reuters

COLOMBO, KOMPAS.com - Sri Lanka yang tengah mengalami krisis ekonomi, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) ke rekor tertinggi pada Selasa (24/5/2022).

Negara kepulauan di Asia Selatan itu telah mengalami kekurangan pasokan BBM selama berbulan-bulan dan protes anti-pemerintah, yang berubah menjadi mematikan pada awal Mei dengan sedikitnya sembilan orang tewas.

Menteri Energi Sri Lanka Kanchana Wijesekera mengatakan, "kabinet perang ekonomi" yang baru ditunjuk pada Senin (23/5/2022), menyetujui harga baru BBM untuk membendung kerugian besar di Ceylon Petroleum Corp yang dikelola negara.

Baca juga: Sri Lanka Masih Tanpa Menteri Keuangan, 4 Kandidat Menolak Ditunjuk

Harga solar, yang biasa digunakan di angkutan umum, dinaikkan dari 289 rupee (sekitar 0,80 dollar AS atau Rp11.750) menjadi 400 rupee per liter (Rp16.270) atau 38 persen, sementara harga satu liter bensin naik dari 338 ruppe (sekitar Rp13.750) menjadi 420 rupee (sekitar Rp17.090) atau 24 persen.

Harga solar di Sri Lanka telah meningkat 230 persen dan bensin telah naik 137 persen dalam enam bulan terakhir.

Sri Lanka telah mengalami kekurangan pasokan kedua jenis BBM ini.

Para pengendara di negara itu pun harus mengantre, terkadang sampai berhari-hari untuk bisa mendapatkan BBM.

Kekurangan devisa akut di Sri Lanka telah menyebabkan kelangkaan BBM, makanan dan obat-obatan yang meluas sementara penduduk menderita pemadaman listrik yang lama dan inflasi yang tinggi.

Baca juga: Sri Lanka Bangkrut, Harga Bensin Naik 10 Kali Lipat

Kantor sensus Sri Lanka melaporkan pada Senin (23/5/2022), bahwa inflasi negara secara keseluruhan untuk April secara year on year (YoY) melonjak 33,8 persen, dengan inflasi makanan bahkan lebih tinggi 45,1 persen.

Namun, seorang ekonom di Universitas Johns Hopkins, Steve Hanke, yang melacak harga di titik-titik masalah dunia, mengatakan inflasi Sri Lanka bahkan lebih tinggi dari yang dilaporkan secara resmi.

"Dengan menggunakan data frekuensi tinggi dan teknik paritas daya beli, saya secara akurat mengukur inflasi pada 122 persen year on year," kata Hanke, mengacu pada inflasi Maret, yang secara resmi dilaporkan 21,5 persen.

"Inflasi menghancurkan yang (penduduk) termiskin di Sri Lanka," tambah dia, dilansir dari Kantor Berita AFP.

Sri Lanka bulan lalu mengumumkan gagal bayar utang luar negerinya senilai 51 miliar dollar AS dan sedang dalam pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengamankan dana talangan.

Pemerintah Sri Lanka telah memberlakukan larangan impor secara luas pada Maret 2020 untuk menghemat mata uang asing karena arus masuk dollar melambat.

Baca juga: Sri Lanka Kekurangan Obat-obatan, Dokter: Hukuman Mati untuk Rakyat

Mata uang lokal telah kehilangan nilainya dengan cepat.

Satu dollar AS dibeli 200 rupee pada bulan Maret, tetapi nilai tukar sekarang telah memburuk menjadi 360 rupee per dolar.

Pandemi Covid-18 ini memperparah kesengsaraan ekonomi negara yang dipicu oleh pemotongan pajak drastis Presiden Gotabaya Rajapaksa pada 2019 sebagai bagian dari janji pemilihannya.

Perdana Menteri (PM) Sri Lanka Ranil Wickremesinghe menjabat pekan lalu setelah kekerasan protes memaksa pendahulunya Mahinda Rajapaksa, saudara laki-laki presiden, mengundurkan diri.

Para pengunjuk rasa terus menuntut presiden mundur, dan negara itu masih tanpa menteri keuangan untuk melakukan pembicaraan bailout mendesak dengan IMF.

Baca juga: Situasi Sri Lanka Kian Memburuk, Warga: Tanpa Makanan Kita Akan Mati

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Sumber Reuters
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com