Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Tak Ada Warisan Amerika di Afghanistan

Kompas.com - 24/05/2022, 06:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APAKAH Amerika memenangkan peperangan di Afghanistan? Menurut Joe Biden, iya. Tapi menurut Bush Yunior, nampaknya tidak.

Menurut Biden, patokanya adalah Osama Bin Laden. Pertanyaannya, Osama sudah tamat sepuluh tahun lalu (2011), lantas mengapa Amerika masih ada di sana sampai 2021?

Bukankah ketika itu Joe Biden masih berkuasa bersama Obama, merayakan kematian Osama di Gedung Putih, persis seperti kesumbringahan wajah Hillary Clinton ketika mengetahui Kolonel Khaddafi digeruduk pemberontak Libya yang didukung Amerika.

Tanpa menginjakan kaki di Libya, tanah bekas kekuasaan Kolonel Khaddafi berakhir dengan perang saudara plus dilengkapi latar regional great game yang menakutkan dari tentara-tentara bayaran Jenderal Khalifa Attar. Apalagi dengan menginjakkan kaki seperti di Aghanistan dan Irak.

Lantas setelah lelah, dengan santai mengatakan target sudah tercapai sepuluh tahun lalu, kami lupa, kini baru ingat. Jadi kami pulang sekarang. Terdengar agak menyebalkan bukan?

Lalu mengapa menurut Bush Yunior tidak? Karena targetnya belum tercapai, katanya. Target Joe Biden terlalu dangkal.

Taliban berpatroli di pasar Kota Tua Kabul, Afghanistan, Selasa, 14 September 2021.AP/BERNAT ARMANGUE via VOA INDONESIA Taliban berpatroli di pasar Kota Tua Kabul, Afghanistan, Selasa, 14 September 2021.
Bagi Bush, yang mengawali invasi ke Aghanistan, tujuannya tidak saja menamatkan riwayat Osama, tapi jauh lebih besar dari itu, yakni nation building, target yang jauh berbeda dari ucapan Bush dibanding bulan-bulan awal invasi.

Meletakkan bangunan pemerintahan baru di atas puing-puing pemerintahan lama, yang bersesuaian dengan nilai-nilai Amerika dan tidak lagi dijadikan tempat bersembunyinya musuh-musuh non state Amerika.

Bagi Bush, perang di Afghanistan adalah bagian dari American Crussades. Dan layaknya Ronald Reagen, Amerika harus menjadi "arsenal of democracy." Terdengar sangat ambisius dan American-centris.

Tapi nampaknya Bush bekilah belaka, persis politisi bekingan Military Industrial Complex Amerika lainya.

Bush menginvasi Irak dengan menargetkan senjata pemusnah massal yang katanya milik Sadam Husein.

Targetnya jauh lebih dangkal. Namun kedangkalan yang dibangun atas kebohongan akan tetap tak tercapai.

Tak ada senjata pemusnah massal. Tak ada kaitan Saddam dengan Abu Musab Al Zarkawi. Bukan karena tak ditemukan, tapi memang tak ada.

Pentagon mengirim agen FBI ahli Psikologi Game ke penjara Saddam Hussein, George Piro, untuk menjawab dua pertanyaan itu, yakni soal senjata pemusnah massal dan relasi Saddam dengan Abu Musab Al Zarkawi.

Tapi enam bulan lamanya bergaul dengan Saddam di penjara untuk mendapatkan jawaban meyakinkan. Kedua jawabanya ternyata negatif.

George Piro menolak menyaksikan langsung hukuman gantung Saddam Hussein. Ia dikabarkan menangis di depan tivi di apartemennya menjelang Saddam dieksekusi pengadilan pemerintahan Syiah Irak.

Bush dan timnya pura-pura bodoh dan belaga bodoh mengatasnamakan senjata pemusnah massal.

Tanggal 7 Juni 1981, skuadron 69 Israel dalam “operation opera” terbang ke bagian tenggara kota Baghdad, meluluhlantakan reaktor nuklir Sadam Husein yang hampir jadi.

Amerika mengetahui persis operasi itu, karena diberitahu setelah operasi selesai, persis seperti operasi penghancuran reaktor nuklir Suriah tahun 2007.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com