Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak 14 Tahun Dinyatakan Bersalah atas Terorisme, Awalnya Minat Soal Militer Lalu Terpapar Ekstremisme

Kompas.com - 22/05/2022, 12:31 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber BBC

DARLINGTON, KOMPAS.com - Seorang anak laki-laki yang berbicara tentang melakukan serangan terorisme di sebuah panti asuhan telah dijatuhi hukuman di Inggris.

Bocah laki-laki dari Darlington itu, baru berusia 13 tahun ketika dia menyampaikan keinginannya untuk melakukan penembakan di sekolah.

Baca juga: China Dapat Ancaman Teror dari Separatis Pakistan Usai Bom Tewaskan 3 Warganya

Dia bahkan memiliki panduan yang merinci cara membuat bahan peledak dan senjata, menurut Pengadilan Pemuda Newton Aycliffe sebagaimana dilansir BBC pada Sabtu (21/5/2022).

Dia adalah salah satu teroris termuda yang dihukum di Inggris.

Anak laki-laki itu diperintahkan untuk menyelesaikan perintah konsultasi dengan "intensitas tinggi" selama 12 bulan setelah mengakui tiga tuduhan.

Tragedi Columbine

Anak laki-laki itu, yang kini berusia 14 tahun dan tidak dapat diidentifikasi secara hukum, mengaku memiliki tiga dokumen yang ditemukan di komputer kamar tidurnya.

Isinya merinci cara membuat berbagai bahan peledak yang "layak", kata jaksa menambahkan bahwa anak itu juga mengunduh instruksi tentang cara membuat pistol self-loading.

Baca juga: Risiko Bencana dan Teror Nuklir dalam Perang Ukraina Vs Rusia

Awalnya, Jaksa Jane Stansfield mengatakan polisi disiagakan setelah seorang pengguna Instagram, yang kemudian diidentifikasi sebagai bocah itu, mengirim pesan mengungkap rencana terornya.

Dia mengatakan "berencana meledakkan panti asuhan" dan sedang mencari senjata api seperti yang digunakan dalam penembakan Columbine yang menjadi perhatiannya.

Anak laki-laki itu juga disebut melakukan pencarian berulang kali tentang penembakan di sekolah AS 1999. Dia bahkan menggunakan gambar dua pembunuh Columbine sebagai gambar profilnya di aplikasi komunikasi.

Menurut pengadilan, bocah itu mengatakan dalam pesannya bahwa dia "memperhatikan Columbine dan ingin memulai serangkaian acara seperti itu".

Stansfield mengatakan anak laki-laki itu secara teratur menggunakan "bahasa rasis, anti-Semit dan anti-Islam" dan melakukan kontak dengan ekstremis sayap kanan lainnya secara online.

Dia juga membeli bendera Konfederasi, yang di AS terkait dengan kelompok supremasi kulit putih, dan berpose di depannya sambil mengenakan pakaian kamuflase dan masker wajah.

Baca juga: Serangan Teror di Pakistan Meningkat Sejak Taliban Kuasai Afghanistan

Stansfield mengatakan rekam aktivitas penggunaan komputer anak laki-laki itu menunjukkan awal minatnya pada militer, kemudian berubah menjadi ekstremisme sayap kanan, termasuk mengunduh gambar Adolf Hitler ketika dia berusia 11 tahun.

Polisi menyita barang-barang termasuk komputer, ponsel, hard drive portable, dan seragam militer ketika mereka menggerebek rumahnya pada 1 Juli 2021.

'Kenaifan dan kerentanan'

Stephen Andrews, dalam pembelaannya, mengatakan bocah itu menerima bahwa dia "sangat bodoh", dan bersikeras dia tidak akan pernah dan “tidak mungkin” melakukan tindakan apa pun yang dia diskusikan.

Andrews mengatakan anak itu telah menjadi sangat terisolasi dari teman-teman sekolahnya, dan terikat ke kelompok dan ideologi yang "hampir memberinya kepribadian dan identitas".

Dia mengatakan bocah itu menunjukkan tanda-tanda "kenaifan dan kerentanan yang ekstrem", ditambah dengan "elemen kecanggihan, ide dan akses ke informasi yang biasanya tidak diasosiasikan dengan seseorang seusianya".

Meski begitu, pembela menilai anak 14 tahun itu memiliki "kapasitas dan kemauan untuk berubah."

Baca juga: Kemlu RI Pastikan Tidak ada Peringatan Ancaman Teror dari Kedubes Jepang untuk Indonesia

Hakim Distrik Senior Paul Goldspring mengatakan anak laki-laki itu memiliki "pikiran fantastis" yang tidak "terkait dengan kenyataan", atau dia akan menjadi "salah satu anak muda paling berbahaya di dunia".

Hakim mengatakan meskipun ambang batas hak asuh telah dilanggar, dia tidak menganggap bocah itu berbahaya.

Dia mengatakan hampir setiap kelompok minoritas menjadi sasaran ujaran kebencian dari anak laki-laki itu, dan tindakannya secara online telah "sangat mengkhawatirkan".

Tetapi, tidak ada bukti bahwa dia benar-benar berencana untuk melakukan serangan dengan, misalnya, membeli senjata atau memata-matai sekolah.

Meski demikian, hamin mengatakan meskipun bocah itu belum secara resmi didiagnosis dengan autisme, dia telah menderita sejumlah "peristiwa traumatis" dan mengalami kesulitan perkembangan saraf.

Artinya, dia "mudah dipengaruhi dan tidak berfungsi pada tingkat intelektual yang sama dengan kebanyakan berusia 13 atau 14 tahun".

Baca juga: Kemlu RI Pastikan Tidak ada Peringatan Ancaman Teror dari Kedubes Jepang untuk Indonesia

Hakim mengatakan bocah itu telah membuat kemajuan dalam proses "rehabilitatif", yang akan rusak dengan masa tahanan.

Selain perintah konsultasi intensif, bocah itu juga diperintahkan untuk membayar 167 poundsterling untuk biaya penuntutan dan biaya tambahan pengadilan.

Berbicara setelah hukuman, Det Supt Matt Davison, dari Counter Terrorism Policing North East, mendesak siapa pun yang khawatir tentang seseorang yang berpotensi menjadi radikal untuk melaporkan kekhawatiran itu lebih awal.

"Kami tahu ini bisa tampak seperti langkah besar untuk berbagi kekhawatiran Anda, tetapi dalam banyak kasus dukungan yang tepat akan datang melalui pendidikan dan profesional kesehatan dan tidak perlu keterlibatan polisi lebih lanjut," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber BBC
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com