Meskipun tidak mengabaikan ancaman ini, Alexander Stubb menilai risiko yang lebih realistis adalah serangan dunia maya Rusia, kampanye disinformasi, dan pelanggaran wilayah udara sesekali.
Setidaknya ada minoritas yang signifikan di Swedia, yang menilai negaranya tetap tidak akan lebih aman di bawah payung NATO.
Deborah Solomon, dari Masyarakat Perdamaian dan Arbitrase Swedia, berpendapat bahwa pencegahan nuklir NATO meningkatkan ketegangan dan risiko perlombaan senjata dengan Rusia.
Menurutnya, kondisi tersebut bisa memperumit upaya perdamaian dan justru membuat Swedia menjadi tempat yang kurang aman.
Ketakutan lain adalah bahwa dengan bergabung dengan aliansi, Swedia akan kehilangan peran utama dalam upaya perlucutan senjata nuklir global.
Margot Wallstrom mengenang bagaimana beberapa menteri luar negeri NATO sangat ditekan oleh AS untuk tidak ambil bagian dalam negosiasi perlucutan senjata PBB pada 2019.
Tapi Hultqvist, menteri pertahanan saat ini, menyatakan tidak ada kontradiksi antara keanggotaan NATO dan ambisi perlucutan senjata Swedia.
Banyak orang Swedia yang skeptis terhadap NATO melihat kembali ke periode 1960-an-80-an. Saat itu, negara itu menggunakan netralitasnya untuk memposisikan diri sebagai mediator internasional dan sekutu dunia terjajah.
Negara itu mampu mengkritik Uni Soviet dan AS secara vokal, dan pada satu titik di tahun 1970-an mengklaim sebagai satu-satunya negara Barat yang mendukung gerakan anti-apartheid Afrika Selatan.
Jika Swedia bergabung dengan NATO, itu berarti "meninggalkan mimpi" menjadi mediator, kata Solomon.
Netralitas Finlandia sangat berbeda karena muncul sebagai syarat perdamaian, yang diberlakukan oleh Uni Soviet dalam "perjanjian persahabatan" 1948. Itu dipandang sebagai cara pragmatis untuk bertahan dan mempertahankan kemerdekaan negara.
Baca juga: Turki: Finlandia Gabung NATO dengan Damai, Swedia Provokatif
“Netralitas Swedia adalah masalah identitas dan ideologi, sedangkan di Finlandia masalah eksistensi,” kata Henrik Meinander.
Sejarawan itu yakin, Swedia bahkan mampu berdebat tentang keanggotaan NATO salah satunya karena dia menggunakan Finlandia dan Baltik sebagai "zona penyangga".
Di sisi lain, Finlandia sebenarnya sudah meninggalkan netralitasnya setelah Uni Soviet runtuh.
Ia melihat ke Barat dan berusaha membebaskan diri dari lingkup pengaruh Soviet. Bergabung dengan Uni Eropa dipandang tidak hanya menawarkan keuntungan ekonomi tetapi juga keuntungan keamanan.
Iro Sarkka menilai, bergabung dengan NATO pada awal 1990-an mungkin menjadi langkah yang terlalu besar bagi Finlandia, yang ketika itu baru muncul sebagai “negara netral”.
Tetapi waktu dan persepsi tentang risiko sudah berubah sekarang, kebanyakan orang Finlandia mengatakan mereka siap.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.