Secara khusus, Tahirah memastikan anak-anaknya mampu beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Dia membangun hubungan yang baik dengan guru anak-anaknya dan menyampaikan kebutuhan mereka kepada para pengajar.
Tahirah mengirimkan salinan diagnosis anak-anaknya kepada guru mereka dan berdiskusi tentang cara terbaik untuk berkomunikasi anak-anaknya.
Tahirah ingin anak-anaknya menjadi mandiri dan siap menjalani hidup di masa depan.
“Ketika saatnya tiba ketika mereka tidak dapat mengandalkan saya lagi atau saya meninggal, saya tahu bahwa saya meninggalkan anak-anak saya dengan keterampilan yang dapat membantu mereka mengurangi stres, kecemasan, dan kesedihan yang mungkin mereka alami,” ungkap Tahirah.
Sejak usia dua tahun, anak-anak Tahirah mulai melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga seperti mengelap meja setelah makan. Kemudian ketika mereka bertambah usia, akan ditugasi dengan lebih banyak pekerjaan rumah tangga.
Pada usia 12 tahun, mereka belajar berbelanja bahan makanan dan belajar cara membelanjakan uang.
Baca juga:
Tahirah mengungkapkan, ia pun sempat mengalami masa-masa jenuh mengasuh tujuh anak berkebutuhan khusus.
Apalagi pada pengujung 2017, dia kehilangan ayah, paman, sepupu, dan ibu mertuanya yang meninggal.
Beberapa saat berselang taman kanak-kanak Talhah menyarankan Tahirah menariknya dari prasekolah. Dia kemudian didiagnosis dengan ASD.
Pada saat itu, Tahirah sendiri tidak dapat merawat dirinya dengan baik.
“Saya juga berpuasa dan menyusui anak kedelapan saya,” kenangnya,
Ketegangan itu membebani fisik dan mentalnya, dan Tahirah jatuh sakit parah, mengalami demam yang tidak kunjung reda.
Suaminya membawanya ke rumah sakit. Dokter menemukan bahwa Tahirah mengalami dehidrasi dan dua batu ginjalnya berdiameter hampir satu inci.
Itu adalah salah satu pengalaman terburuk yang pernah dia hadapi.
Peristiwa malang itu menyadarkannya untuk membangun sistem pendukung yang tangguh di rumah.