KYIV, KOMPAS.com - Serangan Rusia ke Ukraina memasuki hari ke-62 pada Selasa (26/4/2022).
Ini terhitung sejak Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan invasi ke Ukraina yang disebutnya sebagai operasi militer khusus pada 24 Februari.
Pada perang Rusia-Ukraina hari kemarin, masih ada beberapa hal baru yang “mewarnai” konflik antara kedua negara.
Baca juga: Rangkuman Hari Ke-61 Serangan Rusia ke Ukraina, Peringatan Perang Dunia III dan Rencana AS
Misalnya, Sekjen PBB berkesempatan bertemu dengan Putin untuk membahas persoalan perang. Ada juga diadakan pertemuan oleh para menteri pertahanan dari 40 negara terkait pasokan senjata untuk Ukraina.
Untuk lebih lengkapnya, berikut adalah rangkuman serangan Rusia ke Ukraina yang terjadi pada hari ke-62:
Dilansir dari AFP, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan kepada Sekjen PBB Antonio Guterres pada Selasa, bahwa dia masih memiliki harapan untuk negosiasi guna mengakhiri konflik di Ukraina.
"Meskipun operasi militer sedang berlangsung, kami masih berharap bahwa kami akan dapat mencapai kesepakatan di jalur diplomatik. Kami sedang bernegosiasi, kami tidak menolak (pembicaraan)," kata Putin kepada Guterres.
Guterres, yang berusaha menengahi konflik, melakukan kunjungan pertamanya ke Moskwa sejak perang dimulai.
Dia kemudian akan melakukan perjalanan ke Kyiv untuk berbicara dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Para menteri pertahanan dari 40 negara mengadakan pembicaraan di pangkalan udara AS di Jerman untuk meningkatkan pasokan senjata ke Ukraina.
Amerika Serikat (AS) dan sekutunya akan bertemu sebulan sekali untuk membahas kebutuhan pertahanan Ukraina, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan sesudahnya.
AS telah mendorong sekutunya untuk menyediakan senjata berat bagi Ukraina.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada Kongres bahwa Putin "tidak menunjukkan tanda" bahwa dia serius tentang diplomasi.
Menteri Pertahanan Jerman Christine Lambrecht mengatakan dalam pertemuan di pangkalan udara AS bahwa Berlin akan mengirim tank anti-pesawat Gepard ke Ukraina.
Kebijakan ini menandai perubahan besar oleh Kanselir Olaf Scholz, yang sebelumnya mendesak pendekatan yang lebih hati-hati dalam menghadapi Rusia yang bersenjata nuklir.