WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Elon Musk kini menjadi pemilik Twitter, perusahan media sosial raksasa Amerika Serikat (AS), setelah melakukan pembelian senilai 44 miliar dollar AS (Rp 643 triliun) pada Selasa (26/4/2022).
Orang terkaya di dunia, yang juga menjadi pemegang salah satu akun Twitter yang paling banyak diikuti ini, sebelumnya pernah mengungkap beberapa perubahan yang ia inginkan di platform media sosial.
Berdasarkan bukti kicauannya selama sebulan terakhir yang dihimpun Guardian, berikut beberapa masalah terbesar Twitter yang kemungkinan akan menjadi perhatiannya.
Baca juga: Elon Musk Bertemu Luhut, Berbincang Serius tapi Santai
Musk telah menggambarkan dirinya sebagai pengusung "kebebasan berbicara absolut", dan nasib akun Twitter mantan presiden AS yang ditangguhkan merupakan ujian kuat dari pemikirannya itu.
Trump dilarang secara permanen di Twitter, tak lama setelah kerusuhan Capitol pada Januari 2021.
Perusahaan yang didirikan oleh Jack Dorsey mengutip pelanggaran berulangnya terhadap aturan perusahaan dan risiko "hasutan kekerasan lebih lanjut".
Musk mengatakan bulan ini bahwa dia “sangat berhati-hati dengan larangan permanen” di Twitter dan lebih memilih sistem “timeout”.
Namun dia belum secara langsung membahas masalah akun Trump yang memiliki hampir 89 juta pengikut di Twitter.
Berbicara di konferensi TED, Musk berkata: “Saya pikir sangat penting untuk menjadi arena inklusif untuk kebebasan berbicara. Twitter telah secara de facto menjadi semacam alun-alun, jadi sangat penting bagi orang-orang untuk memiliki ... realitas dan persepsi bahwa mereka dapat berbicara dengan bebas dalam batas-batas hukum.”
Adapun sebagian penyebab pelarangan Trump di Twitter adalah karena cuitannya dikhawatirkan menghasut pelanggaran hukum.
Musk pun diharapkan dapat menyelaraskan prinsip kebebasan berbicaranya dengan realitas hukum – dan melihat sejarah Trump di platform.
Baca juga: Kerugian dan Dilema Iklan: Di Balik Pembelian Twitter oleh Elon Musk
Industri media sosial berada di bawah peraturan yang lebih ketat, terutama di Eropa.
Pekan lalu Uni Eropa mengumumkan Undang-Undang Layanan Digital, di mana perusahaan seperti Twitter, Facebook, dan Google harus berbuat lebih banyak untuk mengatasi konten ilegal atau menghadapi denda miliaran euro.
Ini akan didahului oleh undang-undang keamanan online Inggris, yang mengharuskan platform media sosial untuk melindungi penggunanya dari konten berbahaya dan mulai berlaku sekitar akhir tahun.
Di AS ada gerakan untuk perubahan peraturan, meskipun mereka harus mengatasi kemacetan politik yang abadi di Capitol.