Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Tragedi Topan Megi Filipina: Ketika Gunung untuk Berlindung Malah Runtuh

Kompas.com - 14/04/2022, 17:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KHAWATIR hujan lebat dari topan Megi akan berujung banjir, Selasa (12/4/2022), warga desa nelayan Filipina mendaki ke gunung dan mendirikan tenda. Mereka tak mengira, gunung tempat berlindung itu justru runtuh. Hingga Kamis (14/4/2022), topan Megi telah merenggut 117 nyawa di Filipina.

Fernando Rosquetes berasa hanya ingin ikut mati. Dialah yang menyuruh keluarganya mendaki gunung di belakang desa mereka, Pilar, yang berada di tepi laut di provinsi Leyte. "Saya bilang ke mereka, 'Tetap di sana. Kamu lebih aman di sana'," tutur dia kepada AFP. 

Namun, gunung yang sama-sama diguyur hujan seharian itu justru runtuh. Longsor.

Lumpur tebal dan tanah menyapu seisi Pilar, termasuk warga yang bertahan. Longsor yang sama menyeret serta warga yang sebelumnya mengungsi ke atasnya pula.

Rabu (13/4/2022), menjadi hari tak tertahankan bagi Rosquetes. Dia harus mengidentifikasi tubuh keluarganya di depan umum. Kantong jenazah berisi kedua anaknya, seorang cucu, dan satu menantu perempuannya berderet dengan puluhan kantong jenazah lain. 

"Sekarang semuanya hilang," kata lelaki berumur 47 tahun itu sambil terisak. "Saya hanya ingin ikut dikubur di tanah longsor."

Pada Rabu malam, 26 orang tewas dan sekitar 150 warga Pilar masih hilang.

Di Abuyog, kota terdekat Pilar, warga yang selamat dan korban meninggal sama-sama diangkut perahu. Petugas penyelamat lalu menderetkan jenazah korban untuk diidentifikasi keluarga.

Salah satu korban selamat, Joshua Binondo (21 tahun), bercerita bahwa dia bertahan bersama ayahnya untuk menjaga rumah. Ibu dan empat saudara kandungnya mendaki lereng gunung, menghindari jangkauan banjir. 

"Saya mendengar dentuman keras dan kami berlari menyelamatkan diri," kata Binondo, mengacu suara tanah yang meluncur deras ke arah desa. "Tanah berkejaran dengan saya. Lalu saya tidak ingat apa-apa lagi," tutur Binondo. 

Ayah, ibu, dan tiga saudara kandungnya tewas. Kakeknya juga hilang. Namun, satu adik perempuannya selamat. 

Baca juga: Ribuan Warga Filipina Mengungsi Pasca-bencana Topan Megi

Warga Pilar, Anacleta Canuto (44), menyebut suara tanah longsor pada hari itu mirip dengan deru keras helikopter. Canuto selamat bersama suami dan dua anaknya, tetapi kehilangan tak kurang dari sembilan kerabat. 

Santiago Dahonog (38), nelayan Pilar, bercerita bahwa dia bergegas ke laut bersama dua saudara kandung dan keponakannya saat tanah longsor meluncur ke arah mereka.

"Kami keluar dari rumah, berlari ke air, dan mulai berenang," katanya kepada AFP. "Saya satu-satunya yang selamat."

Perahu cadik dikerahkan untuk mengevakuasi warga selamat di Pilar. Akses ke desa dengan 400 penduduk itu putus terhalang longsoran tanah. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com