Para tahanan awalnya tidur di tenda-tenda, sementara mereka dipaksa membangun fasilitas beton yang luas, bertingkat di sisi bukit yang curam.
Brother Home juga menjalankan lebih dari selusin pabrik yang memproduksi pensil, peralatan memancing, koktail, pakaian, sepatu, kayu, pengerjaan logam, dan banyak lagi.
Mantan tahanan mengatakan mereka kelaparan dan dieksploitasi tanpa malu-malu. Mereka tidak menerima apa pun atas kerja kerasnya, anak-anak pun diperbudak.
Yeon Seng-mo, yang berada di penampungan itu selama empat tahun sejak berumur 15 tahun, mengatakan tahanan dihukum jika gagal memenuhi target harian.
“Jika kami tidak menyelesaikannya, kami akan dipukul dengan tongkat baseball,” katanya di apartemen kecilnya di pinggiran Seoul.
Pabrik-pabrik disajikan sebagai tempat pelatihan bagi tahanan untuk mengembangkan keterampilan baru untuk dunia luar. Tetapi Park Min-seong mengatakan, pada kenyataannya, mereka tidak lebih dari sumber keuntungan besar bagi pengelola Brothers Home.
“Mereka (keluarga pengelola) mengantongi uang dari hasil penjualan produk tersebut, serta mendapat keuntungan dari tenaga kerja gratis,” jelasnya.
Park In-keun, seorang mantan anggota militer dan petinju, adalah orang yang mengepalai Brothers Home. Dia mengelola penampungan itu dengan tangan besi dan membentuk rantai komando seperti tentara, mempromosikan tahanan ke posisi kekuasaan.
“Strategi mereka adalah membuat tahanan menyiksa tahanan lain,” jelas Park Min-seong. Di dalam apa yang disebut "peleton" yang menampung hingga 120 tahanan dengan deretan ranjang susun, kekerasan merajalela.
Tahanan menjadi sasaran hukuman kolektif yang kejam yang diberikan oleh “pemimpin peleton”, bahkan untuk alasan sepele seperti menjatuhkan makanan ke lantai.
"Kami adalah mainan untuk dimainkan oleh para pemimpin peleton," ingat Choi Seung-woo yang dibawa secara paksa ke Brothers Home saat berusia 14 tahun.
Secara resmi, 551 orang meninggal di fasilitas itu, tetapi diyakini secara luas jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi.
Baca juga: Pengadilan Korea Selatan Perintahkan Jepang untuk Beri Kompensasi kepada Budak Seks Perang Dunia II
Kepala Brothers Home, Park In-keun, mengelilingi dirinya dengan anggota keluarga yang setia.
Istrinya Lim Sung-soon, saudara laki-lakinya Lim Young-soon, dan saudara iparnya Joo Chong-chan. Semuanya adalah direktur rumah penampungan tersebut, dan semuanya mengaku sebagai orang beragama yang taat.
Pada 1986, desas-desus tentang orang-orang yang ditahan di luar kehendak mereka dan pembunuhan di penampungan brutal itu mulai beredar di Busan.
Kim Yong-won seorang jaksa lokal saat itu, melakukan kunjungan mendadak ke salah satu lokasi konstruksi Brothers Home, dan melihat pria dengan tongkat besar menjaga pekerja.
Tak lama kemudian Brother Home digerebek. Mata uang asing senilai 5,5 juta dollar AS (Rp 79 miliar) pada nilai hari ini, disita dari brankas di kantor utama.
Pada Januari 1987, Park In-keun ditangkap dan didakwa dengan penggelapan dan kurungan ilegal. Tapi dia akhirnya dibebaskan dari tuduhan dan tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia di Brothers Home.
Baca juga: Perempuan Berdaya: Phillis Wheatley, Seorang Budak Wanita Kulit Hitam Merdeka karena Puisi
Advokat hak asasi manusia terkemuka Korea, Park Lae-goon, dan banyak lainnya yang memeriksa kasus Brothers Home dengan cermat, menuding sekutu politik kuat Park In-keun sebagai alasan pembebasannya.
“Ada pemerintahan Presiden Chun Doo-hwan, dan Wali Kota Busan – ada hubungan dekat antara pihak-pihak tersebut,” katanya. “Bahkan ketika Park In-keun ditangkap, Wali Kota Busan menelepon dan mendorong pembebasannya.”