JAKARTA, KOMPAS.com – Memasuki tahun 2022, Kementerian ESDM memaparkan strategi transisi energi indonesia dalam konferensi pers Capaian Kinerja 2021 dan Rencana Kerja 2022 ESDM dan Subsektor EBTKE.
Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang, meski arah strategi transisi energi Indonesia semakin jelas, laju transisi energi perlu dipercepat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) serta sejalan dengan jalur Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.
Hanya saja, masih ada beberapa strategi yang dirasa masih tumpang tindih misalnya seperti pemanfaatan dimethyl ether (DME), jaringan gas, dan kompor induksi untuk menggantikan pemenuhan energi rumah tangga yang seharusnya bisa disusun peta jalan yang lebih fokus.
Baca juga: Permintaan Energi Listrik Global Naik, Emisi Harus Turun
Pada Peta Jalan Transisi Energi 2021-2030, pemerintah menitikberatkan pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan yang mencapai 20,9 gigawatt dengan PLTS atap ditargetkan sebesar 3,6 gigawatt.
Pembangunan PLTS akan masif pada 2031 hingga 2050 dengan jumlah total sebesar 279,2 gigawatt sebagaimana rilis yang diterima Kompas.com dari IESR pada Selasa (18/1/2022).
Berdasarkan kajian IESR berjudul Dekarbonisasi Menyeluruh Sistem Energi Indonesia, pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan justru harus dikebut dalam jangka waktu 2021 hinga 2030 untuk mencapai target bauran energi terbarukan dan mencapai puncak emisi di sektor kelistrikan sebelum 2030.
Selain itu, setidaknya perlu peningkatan 14 kali lipat dari jumlah kapasitas energi terbarukan di tahun 2020, dengan sekitar 117 gigawatt berasal dari PLTS dan 23 gigawatt dari pembangkit energi terbarukan lainnya.
Laporan realisasi kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan oleh pemerintah hingga 2021 mencapai 11.152 megawatt.
Baca juga: Jerman Nyatakan Energi Nuklir “Berbahaya”
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa berpendapat, target penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan selalu di bawah target pemerintah sejak 2019 dan tidak on-track dengan target bauran energi terbarukan yang mencapai 24 gigawatt pada 2025.
“Penyebab rendahnya penambahan pembangkit energi terbarukan bersifat struktural, antara lain: Permen ESDM No 50/2017 yang membuat proyek pembangkit energi terbarukan tidak bankable, pengadaan pembangkit energi terbarukan yang tidak dilakukan secara berkala dan terjadwal oleh PLN, minimnya dukungan pembiayaan domestik yang kompetitif, serta keterlambatan realisasi proyek karena pandemi,” kata Fabby.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.