Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Nakes Myanmar Melawan Junta, Boikot RS Pemerintah dan Rawat Pasien dari “Bawah Tanah”

Kompas.com - 08/01/2022, 15:30 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber BBC

“Pencahayaan tidak terlalu bagus. Tapi kami melakukan apa yang kami bisa. Di penjara, saya melihat beberapa luka tembak yang tidak dirawat dengan baik di rumah sakit pemerintah dan beberapa meninggal karena luka itu.”

Rumah sakit-rumah sakit pemerintah kata dia memang memiliki peralatan yang lebih baik, tetapi tidak cukup spesialis dan perawat yang terampil. Mereka bahkan sering tidak menerima pasien yang membutuhkan perawatan kritis.

“Saya pikir perawatan medis kami lebih baik, karena kami memiliki lebih banyak spesialis daripada mereka (pendukung militer Myanmar). Masalah utama kami adalah bahwa kita tidak bisa bekerja secara terbuka," keluhnya.

Beberapa perawat lainnya mengaku kepadanya, bahwa mereka bekerja di klinik amal tersembunyi di Yangon dan Mandalay. Mereka harus menyamar sebagai pusat pengujian Covid, untuk menghindari serangan militer.

Tapi, sebagian besar dari mereka harus pindah rumah beberapa kali karena takut ditangkap.

Ketika mereka pergi bekerja, mereka mengenakan pakaian biasa, bukan seragam, dan meninggalkan ponsel mereka jika ditahan. Mereka harus selalu berhati-hati untuk menghindari jebakan yang dibuat oleh militer, beberapa tenaga kesehatan Myanmar telah ditangkap dengan cara ini.

Baca juga: 30 Orang Lebih Tewas Ditembak Lalu Dibakar oleh Militer Myanmar pada Hari Natal

"Kami harus waspada ketika kami dipanggil ke rumah pasien", kata Nway Oo, seorang perawat yang telah kembali dari Yangon ke kampung halamannya di Negara Bagian Shan.

"Kami cek ke orang-orang kami di daerah itu untuk memastikan apakah pasien itu benar-benar sakit. Jadi, kami selalu menunggu satu hari untuk memastikan pasien itu asli."

Perawat lain mengaku tidak meninggalkan rumahnya di Yangon selama lima bulan, dan hidup dalam ketakutan akan terhadap pasukan keamanan yang melakukan inspeksi rumah.

Melawan Covid-19 Myanmar

Sangat bergantung pada telemedicine, sistem kesehatan bawah tanah Myanmar juga berjuang untuk merawat pasien selama lonjakan infeksi Covid-19 Myanmar pada Juli dan Agustus.

Myanmar telah memulai program vaksin yang menjanjikan sebelum kudeta, tetapi terhenti setelah militer merebut kekuasaan. Salah satu dari mereka yang ditangkap adalah dokter yang bertanggung jawab atas peluncuran vaksin.

Militer Myanmar berjanji mempercepat vaksinasi, tetapi terhambat oleh kurangnya staf terlatih, kurangnya vaksin, dan kurangnya kepercayaan publik pada sistem kesehatan yang dijalankan militer.

Sementara itu, NUG meluncurkan program vaksinnya sendiri pada Juli. Tetapi program ini sebagian besar terbatas pada daerah perbatasan di bawah kendali tentara pemberontak etnis yang simpatik.

Varian Delta dari Covid tampaknya telah menyebar di Myanmar pada Juli dan Agustus. Jumlah korban sebenarnya sulit diketahui. Semua perawat dan dokter yang berbicara kepada BBC mengatakan pasien yang sakit parah ditolak dari rumah sakit pemerintah, dan harus pulang, entah untuk sembuh, atau mati.

Baca juga: Tambang Batu Giok Myanmar Longsor, 80 Orang Dikhawatirkan Tersapu

Pada September, jumlah Covid-19 Myanmar telah turun tajam. Tetapi Myanmar tetap rentan terhadap wabah di masa depan, dengan tingkat vaksinasi masih jauh di bawah negara-negara tetangga.

Halaman:
Sumber BBC
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Bus Terjun ke Jurang di Afrika Selatan, 45 Orang Tewas, Hanya Gadis 8 Tahun yang Selamat

Bus Terjun ke Jurang di Afrika Selatan, 45 Orang Tewas, Hanya Gadis 8 Tahun yang Selamat

Global
Rusia Klaim Punya Bukti Pelaku Penembakan Konser Moskwa Terkait dengan Ukraina

Rusia Klaim Punya Bukti Pelaku Penembakan Konser Moskwa Terkait dengan Ukraina

Global
Mahkamah Internasional Perintahkan Israel Pastikan Bantuan Kemanusiaan Sampai Gaza 

Mahkamah Internasional Perintahkan Israel Pastikan Bantuan Kemanusiaan Sampai Gaza 

Global
[POPULER GLOBAL] Korban Suplemen di Jepang Bertambah | Padmarajan 238 Kali Kalah di Pemilu

[POPULER GLOBAL] Korban Suplemen di Jepang Bertambah | Padmarajan 238 Kali Kalah di Pemilu

Global
Atas Usul Indonesia, UNESCO Akui Idul Fitri dan Idul Adha Jadi Hari Besar Keagamaan

Atas Usul Indonesia, UNESCO Akui Idul Fitri dan Idul Adha Jadi Hari Besar Keagamaan

Global
Dampak Penembakan Konser Moskwa, Etnis Tajik Alami Rasialisme di Rusia

Dampak Penembakan Konser Moskwa, Etnis Tajik Alami Rasialisme di Rusia

Global
Putin Tak Berencana Kunjungi Keluarga Korban Penembakan Konser Moskwa

Putin Tak Berencana Kunjungi Keluarga Korban Penembakan Konser Moskwa

Global
WHO Soroti Peningkatan Cyberbullying, Pengaruhi 1 dari 6 Anak Sekolah

WHO Soroti Peningkatan Cyberbullying, Pengaruhi 1 dari 6 Anak Sekolah

Global
TikTok Larang Influencer Australia Promosikan Produk Kantong Nikotin

TikTok Larang Influencer Australia Promosikan Produk Kantong Nikotin

Global
Otoritas Palestina Umumkan Kabinet Baru, Respons Seruan Reformasi

Otoritas Palestina Umumkan Kabinet Baru, Respons Seruan Reformasi

Global
Kisah Kota Emas Gordion di Turkiye dan Legenda Raja Midas

Kisah Kota Emas Gordion di Turkiye dan Legenda Raja Midas

Global
Penembakan Massal Konser Moskwa, Apakah Band Picnic Sengaja Jadi Sasaran?

Penembakan Massal Konser Moskwa, Apakah Band Picnic Sengaja Jadi Sasaran?

Global
AS Abstain dalam Resolusi DK PBB soal Gaza, Hubungan dengan Israel Retak?

AS Abstain dalam Resolusi DK PBB soal Gaza, Hubungan dengan Israel Retak?

Global
Pesan Paskah Raja Charles III Setelah Didiagnosis Kanker

Pesan Paskah Raja Charles III Setelah Didiagnosis Kanker

Global
Interpol Ungkap Fakta Jaringan Global Perdagangan Manusia di Asia Tenggara

Interpol Ungkap Fakta Jaringan Global Perdagangan Manusia di Asia Tenggara

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com