Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyakit Misterius Tewaskan Hampir 100 Orang di Sudan, Masih dalam Penyelidikan WHO

Kompas.com - 19/12/2021, 08:08 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Newsweek

KHARTOUM, KOMPAS.com - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mulai menyelidiki kematian hampir 100 orang di Sudan Selatan. Kematian karena penyakit misterius ini terjadi di Fangak dan Negara Bagian Jonglei di Sudan Selatan.

BBC mencatat bahwa sampel awal yang dikumpulkan di daerah tersebut menunjukkan hasil negatif kolera.

Baca juga: Pil Covid Pfizer Diklaim Efektif Melawan Varian Omicron dan Mencegah Penyakit Parah

Sementara menjelaskan kekhawatiran yang sedang berlangsung, Sheila Baya dari WHO mengatakan sejauh ini ada 89 kematian dan penyelidikan sedang berlangsung.

"Kami memutuskan untuk mengirim tim respon cepat untuk pergi dan melakukan penilaian risiko dan penyelidikan,” kata Baya mengatakan kepada BBC.

"Saat itulah mereka akan dapat mengumpulkan sampel dari orang yang sakit, tetapi untuk sementara angka yang kami dapatkan adalah 89 kematian."

Dia juga mencatat bahwa semakin sulit untuk mencapai daerah Fangak, karena banjir yang membuatnya tidak dapat diakses melalui darat. Dia dan timnya kemudian menunggu helikopter.

Banjir di daerah itu sangat parah sehingga menyebabkan lebih dari 200.000 orang meninggalkan rumah mereka. Badan kemanusiaan Concern Worldwide mengatakan itu adalah banjir terburuk dalam hampir 60 tahun.

Baca juga: Dua Pria Arkansas Perkosa Bocah 6 Tahun dan Tularkan Penyakit Kelamin

County Director dari Concern di Sudan Selatan, Shumon Sengupta, menjelaskan situasi yang mengerikan.

"Besarnya banjir tahun ini sangat besar. Lebih dari 200.000 orang, lebih dari seperempat penduduk lokal di Unity State terpaksa meninggalkan rumah mereka sebagai akibat dari meningkatnya air banjir,” katanya melansir Newsweek pada Kamis (16/12/2021).

Menurutnya, mengacu pada catatan lokal, tidak pernah ada banjir dalam skala ini di wilayah itu sejak 1962.

Lembaga seperti Concern Worldwide bekerja tanpa lelah untuk menanggapi meningkatnya krisis kemanusiaan, (dengan bantuan keuangan dari donor seperti BHA/USAID, ECHO, GAC, EFP dan UNICEF).

Namun, menurut Sengupta, kebutuhannya jauh melebihi skala respons kemanusiaan saat ini, baik di dalam maupun di luar kamp untuk pengungsi internal.

Baca juga: Kisah Misteri Pandemi 1916, Penyakit Tidur yang Buat Banyak Orang Mati dalam Lelap

"Keluarga telah mengungsi dan berlindung di tempat yang lebih tinggi, di gedung-gedung publik atau dengan tetangga atau keluarga. Akses ke layanan dasar termasuk dukungan kesehatan dan nutrisi telah terganggu karena klinik rusak, terendam banjir, atau tidak dapat diakses."

Badan amal internasional Medecins Sans Frontieres juga sebelumnya berkomentar tentang bagaimana banjir telah menekan fasilitas kesehatan.

Mereka berkata: "Kami sangat prihatin soal malnutrisi, dengan tingkat malnutrisi akut yang parah dua kali lipat dari ambang batas WHO, dan jumlah anak yang dirawat di rumah sakit kami dengan malnutrisi parah berlipat ganda sejak awal banjir."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Newsweek
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com