Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah Kesepakatan Nuklir Iran dan Kepentingan Negara-negara yang Terlibat di Dalamnya

Kompas.com - 30/11/2021, 12:30 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber BBC

WINA, KOMPAS.com - Pembicaraan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 dengan Iran dimulai di Austria pada Senin (29/11/2021).

Tetapi persaingan ambisi dari negara-negara yang terlibat membuat kemungkinan kesuksesan menjadi jauh, menurut Jonathan Marcus, Mantan Koresponden Pertahanan dan Diplomatik, BBC News.

Sejak pemerintahan Trump meninggalkan kesepakatan nuklir 2015 dengan Iran pada Mei 2018, perjanjian yang dikenal sebagai JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) kerap disebut dalam kondisi kritis.

Perjanjian minggu ini dapat menentukan apakah akhirnya kesepakatan nuklir 2015 dinyatakan mati atau paling tidak, apakah ada sesuatu yang dapat dilakukan untuk menyelamatkanya, guna mencegah krisis Timur Tengah yang baru.

Pertemuan formal di Wina akan melibatkan Iran, bersama dengan Rusia, China dan yang disebut Eropa 3 - yaitu Inggris, Perancis dan Jerman.

Baca juga: Inggris dan Israel Buat Pakta Pertahanan, Berkomitmen Cegah Iran Peroleh Senjata Nuklir

Awal mula kesepakatan nuklir 2015 - JCPOA

Kesepakatan awal terjadi karena ada ketakutan nyata di Barat soal tujuan utama Iran mengembangkan nuklir.

Pertama Iran dapat secara eksplisit mengembangkan kemampuan senjata nuklir. Kedua Iran dapat menjadi apa yang disebut negara “latensi nuklir”.

Artinya, Iran dapat menjadi salah satu negara yang memiliki semua pengetahuan teknis dan sarana soal nuklir, dan sewaktu-waktu bisa mengembangkan kemampuannya dengan cepat.

Israel dan Amerika Serikat (AS) melihat ini sebagai hal yang tidak dapat diterima.

Kesepakatan JCPOA, meski dalam arti yang tidak sempurna, dipandang oleh banyak orang sebagai pilihan terbaik. Sebab mungkin mengulur waktu untuk pengembangan hubungan yang lebih positif dengan Teheran.

Itu membatasi banyak aspek program penelitian Iran, dan membukanya untuk pengawasan internasional yang lebih besar dari pengawas nuklir PBB, IAEA. Sebagai imbalannya, banyak sanksi ekonomi terkait nuklir terhadap Iran dicabut.

Jadi bisakah itu dihidupkan kembali?

Gambar satelit fasilitas nuklir Natanz Iran yang diambil Oktober lalu.REUTERS via BBC Indonesia Gambar satelit fasilitas nuklir Natanz Iran yang diambil Oktober lalu.

Baca juga: 5 Senjata Nuklir Mematikan Era Perang Dingin

Gesekan kepentingan negara-negara yang terlibat

Mengingat waktu yang tersisa lebih pendek pada beberapa tenggat waktunya, dan kemajuan yang telah dibuat Iran sejak dirancang, kesepakatan nuklir 2015 kurang bermanfaat daripada sebelumnya, menurut Mark Fitzpatrick, pakar non-proliferasi veteran di Institut Internasional untuk Studi Strategis.

"Pertanyaan yang lebih penting adalah apakah kesepakatan itu tetap berguna secara seimbang, dan di sini jawabannya sekali lagi tentu ya, terutama untuk meningkatkan langkah-langkah verifikasi yang diperlukan."

BBC dalam laporannya pada Senin (29/11/2021) menguraikan apa yang diinginkan oleh berbagai negara yang terlibat dalam kesepakatan nuklir 2015, dari pembicaraan yang berlangsung minggu ini.

Baca juga: Rencana NATO soal Senjata Nuklir

1. Iran

Bagi Teheran, ini semua tentang penghapusan sanksi. Agar adil, Iran secara luas menghormati persyaratan JCPOA dan Washington yang secara sepihak pergi.

Jadi Iran ingin semua sanksi dicabut dan fokus pada komitmen AS. Sejauh ini sinyal membingungkan disampaikan Tegeran.

Beberapa pernyataan menunjukkan mereka tidak menolak kembali ke JCPOA, meskipun mereka tentu saja tidak akan memperluas cakupan pembicaraan, untuk mencakup rudal atau kegiatan regional mereka.

Mereka juga menginginkan jaminan dasar yang menjanjikan jika mereka kembali, maka JCPOA akan mengikat bagi pemerintahan AS di masa depan.

Baru setelah itu mereka akan berbicara tentang mekanisme kembali ke kepatuhan. Permintaan terakhir ini mungkin sulit dipenuhi, karena sistem AS tidak bekerja seperti itu.

Semua keinginan dari Teheran itu keras. Tapi mungkinkah mereka mengalah?

Ali Vaez, Direktur Proyek Iran di International Crisis Group, mengatakan tim perunding Iran yang baru mungkin akan melakukan tawar-menawar yang sulit.

Tap, “sulit memprediksi apakah mereka akan memiliki fleksibilitas untuk menemukan jalan tengah dengan AS, mengingat tuntutan maksimalis yang mereka miliki."

Foto file ini diambil pada 10 November 2019, menunjukkan bendera Iran di pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr Iran, selama upacara resmi untuk memulai pekerjaan pada reaktor kedua di fasilitas tersebut. AFP/ATTA KENARE Foto file ini diambil pada 10 November 2019, menunjukkan bendera Iran di pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr Iran, selama upacara resmi untuk memulai pekerjaan pada reaktor kedua di fasilitas tersebut.

Baca juga: Program AUKUS Resmi Dibuka, Pembuatan Kapal Selam Nuklir Australia Dimulai

2. Amerika Serikat

AS tidak menghadiri pertemuan itu, tetapi para pejabatnya di Wina akan terus mengawasinya.

Pemerintahan Biden berpikir bahwa pembicaraan, yang melibatkan beberapa pihak lain dalam perjanjian awal tahun ini, bergerak menuju kesepahaman dengan Teheran.

Washington mendukung kembalinya JCPOA dan mengharapkan presiden baru Iran kembali ke JCPOA, setelah jeda yang sesuai. Namun tampaknya AS salah menilai suasana hati di Teheran.

Lalu, seberapa mudahkah untuk membatalkan kemajuan yang telah dibuat Iran untuk sementara? Dan bagaimana pemulihan kesepakatan dapat dilakukan secara bertahap?

Para pejabat AS juga mengisyaratkan dengan jelas batasan mereka - Presiden AS Joe Biden tidak akan menyetujui Iran memperoleh senjata nuklir. Jika pembicaraan gagal, maka AS memiliki opsi lain yang dapat digunakannya.

Baca juga: Program Nuklir Korea Utara: Latar Belakang dan Kontroversinya

3. Israel

“Negeri Zionis” jauh dari Wina, tetapi bayangannya sangat mempengaruhi pembicaraan.

Israel dan Iran adalah musuh bebuyutan dan Teheran tidak mengakui hak Israel untuk hidup. Banyak orang di Israel melihat program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial bagi mereka.

Israel sudah terlibat dalam perang yang tidak diumumkan dengan Iran. Proksinya di Suriah, juga memperluas cakupan serangan udaranya dalam beberapa pekan terakhir.

Perdana Menteri Israel Naftali Bennett berbicara keras soal nuklir Iran, dan menekankan bahwa negaranya akan "menjaga kebebasan bertindak", sehubungan dengan Iran apa pun yang keluar dari pembicaraan Wina.

Namun Bennett mengatakan "Israel bukan pihak JCPOA... dan Israel tidak terikat olehnya." Pandangan itu sangat baik, tetapi telah la

ma ada ambivalensi terhadap kesepakatan nuklir di Israel sendiri.

Baca juga: Program Nuklir Korea Utara: Latar Belakang dan Kontroversinya

Batasan atas pernyataan itu digemakan oleh Presiden Trump. Tetapi banyak pakar pertahanan menganggap kesepakatan nuklir 2015 berguna dalam membatasi tindakan Iran, dan menunda kemungkinan perang.

Mungkin ada sebagian yang masih percaya akan hal itu. Tetapi Iran telah menggunakan kesepakatan sementara untuk membuat kemajuan nuklir yang signifikan. Sementara Israel menilai Iran dengan tindakannya bukan kata-katanya.

Dengan posisi Israel ini berarti ada poten

si ketegangan kedepannya dengan tim Biden, yang diyakini banyak pejabat Israel ingin menyelesaikan kesepakatan dengan Teheran dengan taruhan berapapun.

4. Sekutu Teluk AS

Setelah menentang keras JCPOA, banyak sekutu Teluk Washington diam-diam berubah pikiran. Seperti yang dicatat Ali Vaez, "Tetangga-tetangga Iran di Teluk Arab telah menyadari bahwa kesepakatan yang tidak sempurna lebih baik daripada tidak sama sekali".

Tekanan maksimum nyatanya tetap tidak berhasil membatasi Iran. Sebaliknya justru melepaskan Iran yang jauh lebih agresif di kawasan itu. Alhasil negara-negara Teluk Arab terperangkap dalam konfrontasi antara Iran dan AS.

Dengan fokus strategis Washington sekarang lebih pada China daripada Timur Tengah, banyak sekutunya sekarang berpikir bahwa kesepakatan yang disusun kembali mungkin melayani kepentingan terbaik mereka.

Seorang pekerja mengendarai sepeda melintas di depan reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr di Kota Busher, Iran, 26 Oktober 2010.AP via VOA INDONESIA Seorang pekerja mengendarai sepeda melintas di depan reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr di Kota Busher, Iran, 26 Oktober 2010.

Baca juga: Milisi Iran Bikin Video Game dengan George Floyd Jadi Pahlawannya

5. Eropa 3

Kelima negara yang akan duduk di sekitar meja dengan Iran ingin kembali ke implementasi penuh dari kesepakatan bersama dengan pencabutan sanksi AS yang diperlukan.

Orang-orang Eropa telah memainkan peran penting dalam serangkaian pertemuan dengan pejabat senior Iran, yang telah mencapai proses sampai ke titik ini.

Memang Eropa-lah berperan penting dalam menjaga JCPOA tetap hidup selama tahun-tahun Trump. Tetapi negara-negara Eropa dan AS sekarang bersatu dalam pendekatan yang luas.

Perancis khususnya sangat ingin menekankan bahwa diskusi baru dengan Iran harus dimulai dari pertemuan sebelumnya yang dihentikan pada Juni, dengan tujuan untuk segera kembali ke kesepakatan.

Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian memperingatkan Teheran baru-baru ini terhadap sikap negosiasi "palsu".

Baca juga: UNIK GLOBAL: Pria Di-blacklist AYCE karena Makan Banyak | Kiper Putri Iran Dikira Pria

6. China/Rusia

Rusia dan China berbagi tujuan dengan negara barat, ingin melihat JCPOA dibangkitkan dan menghindari krisis baru di wilayah tersebut.

Tetapi hubungan mereka dengan AS sangat berbeda dengan orang-orang Eropa. Moskwa dan Beijing menyadari penurunan fokus Washington di Timur Tengah. Pada titik tertentu, kedua negara ini juga mencari kepentingan mereka sendiri di kawasan itu, yang membuat mereka lebih sensitif terhadap kekhawatiran Teheran.

Iran tentu ingin lebih dekat dengan keduanya.

September lalu Iran diterima menjadi anggota Dewan Kerjasama Shanghai, sebuah kelompok regional yang menghubungkan Rusia, China, beberapa negara Asia Tengah, Pakistan dan India.

Baca juga: Senjata yang Dipasok Iran Diselundupkan dari Yaman ke Somalia

Mengapa batasan pengayaan uranium Iran penting?

Hal ini dilihat oleh Iran sebagai bagian penting dari strategi "Melihat ke Timur" mereka, untuk melepaskan diri dari AS dan Barat.

Ini sangat cocok dengan keinginan Rusia dan China untuk dunia yang lebih multipolar; pada dasarnya satu kondisi dunia di mana kekuatan global AS dibatasi.

Jadi Iran pada akhirnya akan mencari dukungan ke Moskwa dan Beijing, jika keadaan menjadi sulit.

Jalan tengah?

Tidak ada yang tampak sangat optimis tentang kesepakatan yang dicapai.

Kembali ke kesepakatan nuklir 2015 tampaknya tidak mungkin, mengingat tuntutan Iran yang tidak realistis, kata Mark Fitzpatrick dari IISS.

Beberapa pihak kemudian akan melihat aksi militer sebagai satu-satunya pilihan yang tersisa, untuk menghentikan Iran mendekati proses memiliki bom nuklir, tambahnya. Tapi mungkin ada jalan tengah.

"AS dan Iran mungkin mencari pengaturan yang lebih murah, mengurangi beberapa sanksi dengan imbalan pembatasan pengayaan uranium".

Meski dengan semua kekurangannya, JCPOA dinilai tetap memiliki manfaat. Sebab Timur Tengah tanpa jaminannya akan menjadi tempat yang jauh lebih berbahaya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com