Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cek Klaim Keliru soal Perubahan Iklim yang Viral di Media Sosial

Kompas.com - 22/11/2021, 10:38 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Editor

LONDON, KOMPAS.com - Ketika para pemimpin dunia berkumpul di KTT COP26 Glasgow untuk berdebat tentang cara mengatasi perubahan iklim, banyak klaim keliru, dan menyesatkan tentang iklim yang beredar di media sosial.

Tim BBC Reality Check mengecek kebenaran beberapa klaim keliru paling viral dalam setahun terakhir dan menggambarkan sikap penyangkalan terhadap perubahan iklim saat ini.

Baca juga: Greenpeace: Janji Lindungi Lautan untuk Lawan Perubahan Iklim Masih Lemah

Klaim keliru: Matahari akan mendingin dan menghentikan pemanasan global

Banyak orang sudah lama mengklaim bahwa perubahan suhu yang terjadi selama seabad ke belakang adalah bagian dari siklus alami Bumi, bukan akibat perilaku manusia.

Klaim tersebut sudah terbukti keliru, seperti yang dilansir dari BBC Indonesia pada Senin (22/11/2021).

Dalam beberapa bulan terakhir, BBC menemukan versi baru dari argumen tersebut.

Ribuan unggahan di media sosial, yang dibaca ratusan ribu orang selama setahun terakhir, mengklaim bahwa fenomena yang disebut "Grand Solar Minimum" akan menyebabkan penurunan suhu alami, tanpa campur tangan manusia.

Namun, klaim keliru tersebut tidak didukung oleh bukti ilmiah.

"Grand solar minimum" adalah fenomena nyata ketika Matahari mengeluarkan lebih sedikit energi sebagai bagian dari siklus alaminya.

Berbagai studi menunjukkan bahwa Matahari mungkin akan melalui fase yang lebih lemah sekitar abad ini, tetapi ini hanya akan mengakibatkan pendinginan sementara planet Bumi sebesar 0,1-0,2 Celcius.

Itu tidak cukup untuk mengimbangi aktivitas manusia, yang telah mengakibatkan kenaikan temperatur Bumi sekitar 1,2 Celcius selama 200 tahun terakhir dan akan terus meningkat, barangkali akan mencapai 2,4 Celcius pada akhir abad ini.

Kita tahu kenaikan suhu baru-baru ini bukan disebabkan oleh perubahan siklus alami Matahari karena lapisan atmosfer terdekat Bumi memanas, sementara lapisan atmosfer yang paling dekat dengan Matahari (stratosfer) justru mendingin.

Panas yang biasanya akan dilepaskan ke stratosfer terperangkap oleh gas rumah kaca, seperti karbon dioksida dari emisi bahan bakar.

Jika perubahan suhu di Bumi disebabkan oleh Matahari, seluruh atmosfer akan menghangat (atau mendingin) secara bersamaan.

Baca juga: COP26: Perubahan Iklim Ancaman Besar bagi Stabilitas Keuangan Global

Klaim keliru: pemanasan global itu baik

Berbagai unggahan yang beredar di dunia maya mengklaim bahwa pemanasan global akan membuat beberapa tempat di Bumi lebih layak huni, dan bahwa cuaca dingin membunuh lebih banyak orang dari pada cuaca panas.

Argumen-argumen seperti ini kerap memilih fakta-fakta yang mendukung serta mengabaikan yang menentang.

Misalnya, memang benar bahwa beberapa tempat yang sangat dingin di dunia dapat menjadi lebih ramah untuk ditinggali, untuk sementara waktu.

Namun di tempat-tempat yang sama ini, pemanasan suhu Bumi juga dapat mengakibatkan curah hujan ekstrem, memengaruhi kondisi kehidupan dan kemampuan untuk bercocok tanam.

Pada saat yang sama, tempat-tempat lain dunia akan menjadi tidak dapat dihuni akibat kenaikan suhu Bumi dan naiknya permukaan air laut, seperti negara dengan dataran terendah di dunia, Maladewa.

Mungkin akan ada lebih sedikit kematian terkait cuaca dingin. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal ilmiah Lancet, antara tahun 2000 dan 2019, lebih banyak orang meninggal akibat cuaca dingin dari pada cuaca panas.

Namun, peningkatan kematian terkait cuaca panas diperkirakan akan melebihi nyawa yang diselamatkan dari adanya suhu Bumi meningkat.

Panel Antarpemerintah PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengatakan bahwa secara keseluruhan, "risiko terkait iklim terhadap kesehatan dan mata pencaharian...diproyeksikan meningkat dengan pemanasan global sebesar 1,5 derajat."

Setiap manfaat kecil dan lokal dari berkurangnya hari-hari dingin diperkirakan akan sebanding dengan risiko periode cuaca panas ekstrem yang lebih sering.

Baca juga: COP26: Dunia Perlu Bertindak Sekarang Cegah Perubahan Iklim

Klaim keliru: upaya mengatasi perubahan iklim akan meningkatkan kemiskinan

Klaim keliru yang umum dilontarkan oleh para penentang upaya mengatasi perubahan iklim ialah bahan bakar fosil sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Jadi membatasi penggunaannya, mereka berargumen, pasti akan menghambat pertumbuhan ekonomi tersebut dan meningkatkan biaya hidup, merugikan orang-orang termiskin.

Namun, ini bukan gambaran keseluruhan.

Bahan bakar fosil telah menggerakkan kendaraan, pabrik, dan teknologi serta memungkinkan manusia untuk memproduksi pada skala dan kecepatan yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan selama seabad terakhir.

Itu memungkinkan banyak orang untuk membuat, menjual, dan membeli lebih banyak barang, serta menjadi lebih kaya.

Namun berhenti menggunakan batubara tidak berarti manusia akan kembali menggunakan gerobak yang ditarik lembu dan mesin engkol, karena kita sekarang punya teknologi lain yang mampu melakukan pekerjaan serupa.

Di banyak tempat, listrik dari sumber terbarukan, seperti dari tenaga angin atau energi matahari, sekarang lebih murah dari pada listrik yang dihasilkan dari batubara, minyak, atau gas.

Di sisi lain, banyak studi memprediksi bahwa jika kita gagal mengatasi perubahan iklim pada tahun 2050, ekonomi global dapat menyusut sebesar 18 persen karena kerusakan akibat bencana alam dan suhu ekstrem pada bangunan, kehidupan, bisnis, dan persediaan makanan.

Dampak kerusakan dari perubahan iklim seperti itu akan paling dirasakan oleh kelompok termiskin di dunia.

Baca juga: Jelang COP26, Inggris Desak China Berbuat Lebih Banyak Tangkal Perubahan Iklim

Klaim keliru: energi terbarukan tidak bisa diandalkan

Berbagai unggahan yang mengklaim kegagalan energi terbarukan mengakibatkan pemadaman listrik menjadi viral awal 2021, ketika kegagalan jaringan listrik besar-besaran di Texas membuat jutaan warga menderita kegelapan dan kedinginan.

Berbagai unggahan tersebut, yang diangkat oleh sejumlah outlet media konservatif di AS, menyalahkan turbin angin sebagai penyebab pemadaman listrik.

Namun sesungguhnya, klaim-klaim itu keliru dan menyesatkan.

"Pemadaman listrik adalah bukti dari pembangkit dan manajemen distribusi listrik yang buruk," kata John Gluyas, Direktur Eksekutif Durham Energy Institute.

Gluyas mengatakan klaim keliru bahwa sumber energi terbarukan adalah penyebab pemadaman listrik "tidak masuk akal...Venezuela punya banyak minyak dan di sana, pemadaman sering terjadi."

Menurut Jennie King dari lembaga kajian ISD Global, mendiskreditkan energi terbarukan ialah "titik serangan utama bagi mereka yang ingin mempertahankan ketergantungan pada, dan subsidi untuk, minyak dan gas".

Kritik terhadap skema energi terbarukan juga mengklaim teknologi ini membunuh burung dan kelelawar, mengabaikan banyak studi yang memperkirakan bahwa pembangkit bertenaga bahan bakar fosil membunuh lebih banyak hewan.

Tidak diragukan bahwa beberapa satwa liar, termasuk burung, mati karena menabrak turbin angin.

Namun menurut Lembaga Penelitian LSE tentang Perubahan Iklim dan Lingkungan, "Banyak lembaga konservasi mempertimbangkan bahwa manfaat bagi satwa liar dari mitigasi perubahan iklim...lebih besar dibandingkan risikonya, asalkan ada rencana-rencana pengamanan yang tepat, termasuk pemilihan lokasi yang cermat. "

Baca juga: Intelijen AS Peringatkan Perubahan Iklim Berdampak pada Keamanan Dunia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Serangan Udara Rusia di Odessa Ukraina Lukai 9 Orang Termasuk 4 Anak

Serangan Udara Rusia di Odessa Ukraina Lukai 9 Orang Termasuk 4 Anak

Global
AS Klaim Tak Terapkan Standar Ganda soal Israel dan HAM, Apa Dalihnya?

AS Klaim Tak Terapkan Standar Ganda soal Israel dan HAM, Apa Dalihnya?

Global
Kecelakaan 2 Helikopter Malaysia Jatuh Terjadi Usai Rotornya Bersenggolan

Kecelakaan 2 Helikopter Malaysia Jatuh Terjadi Usai Rotornya Bersenggolan

Global
Kata Raja dan PM Malaysia soal Tabrakan 2 Helikopter Angkatan Laut yang Tewaskan 10 Orang

Kata Raja dan PM Malaysia soal Tabrakan 2 Helikopter Angkatan Laut yang Tewaskan 10 Orang

Global
Arab Saudi Jadi Ketua Komisi Perempuan, Picu Kecaman Pegiat HAM

Arab Saudi Jadi Ketua Komisi Perempuan, Picu Kecaman Pegiat HAM

Global
Malaysia Minta Video Tabrakan 2 Helikopter Angkatan Laut Tak Disebarluaskan

Malaysia Minta Video Tabrakan 2 Helikopter Angkatan Laut Tak Disebarluaskan

Global
Puluhan Pengunjuk Rasa Pro-Palestina Ditangkap di Kampus-kampus AS

Puluhan Pengunjuk Rasa Pro-Palestina Ditangkap di Kampus-kampus AS

Global
Rangkuman Hari Ke-789 Serangan Rusia ke Ukraina: Situasi Garis Depan Ukraina | Perjanjian Keamanan

Rangkuman Hari Ke-789 Serangan Rusia ke Ukraina: Situasi Garis Depan Ukraina | Perjanjian Keamanan

Global
Secara Ekonomi, Cukup Kuatkah Iran Menghadapi Perang dengan Israel?

Secara Ekonomi, Cukup Kuatkah Iran Menghadapi Perang dengan Israel?

Internasional
AS Tak Mau Disebut Terapkan Standar Ganda pada Rusia dan Israel

AS Tak Mau Disebut Terapkan Standar Ganda pada Rusia dan Israel

Global
Serangan Israel ke Iran Sengaja Dibatasi Cakupannya

Serangan Israel ke Iran Sengaja Dibatasi Cakupannya

Global
Unilever Tarik Kembali Produk Magnum Almond Terkait Kontaminasi Plastik dan Logam di Inggris dan Irlandia

Unilever Tarik Kembali Produk Magnum Almond Terkait Kontaminasi Plastik dan Logam di Inggris dan Irlandia

Global
Tabrakan 2 Helikopter Angkatan Laut di Malaysia, 10 Korban Tewas, Tak Ada yang Selamat

Tabrakan 2 Helikopter Angkatan Laut di Malaysia, 10 Korban Tewas, Tak Ada yang Selamat

Global
Rishi Sunak Janjikan Paket Militer untuk Ukraina hingga Rp 10 Triliun

Rishi Sunak Janjikan Paket Militer untuk Ukraina hingga Rp 10 Triliun

Global
Mengapa Israel Menyerang Kota Isfahan di Iran?

Mengapa Israel Menyerang Kota Isfahan di Iran?

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com