KOMPAS.com - Di banyak tempat di dunia, dampak krisis iklim sudah dimulai dan terasa.
Tahun 2021 telah menjadi periode terpanas yang pernah tercatat. Jutaan orang hidup dengan suhu ekstrem, menghadapi ancaman banjir atau kebakaran hutan yang semakin meningkat.
BBC berbicara dengan lima orang yang menjelaskan bagaimana suhu ekstrem telah mengubah hidup mereka.
Baca juga: Jokowi Bertemu Biden di Sela-sela COP26 Glasgow, Minta Junta Myanmar Bebaskan Tahanan Politik
Shakeela Bano sering menempatkan tempat tidur keluarganya di loteng rumah mereka di India. Beberapa malam terlalu panas untuk tidur di dalam ruangan, atapnya juga bisa terlalu panas.
"Sangat sulit," katanya. "Kami memiliki banyak malam tanpa tidur."
Shakeela tinggal bersama suami, putri, dan tiga cucunya di sebuah ruangan tak berjendela di Ahmedabad. Mereka hanya memiliki satu kipas langit-langit untuk bertahan.
Perubahan iklim menyebabkan banyak kota di India sekarang suhunya mencapai 50 derajat Celsius.
Daerah yang padat penduduk dan bangunan sangat dipengaruhi oleh sesuatu yang dikenal sebagai efek panas perkotaan (urban heat island effect).
Bahan seperti beton memancarkan panas, mendorong suhu lebih tinggi. Ketika kondisinya benar-benar bisa menjadi lebih panas, tidak ada udara berhembus di malam hari.
Baca juga: COP26 Glasgow, Biden Minta Maaf Trump Keluar dari Perjanjian Iklim Paris
Di rumah seperti kediaman Shakeela, suhu sekarang mencapai 46 derajat Celsius. Dia kerap pusing karena panas. Cucu-cucunya menderita ruam, kelelahan karena terpapar panas berlebih dan mengalami diare.
Metode tradisional untuk tetap sejuk, seperti minum buttermilk dan air lemon, tidak lagi berhasil.
Mereka mencoba cara lain dengan meminjam uang untuk mengecat atap rumah mereka dengan warna putih.
Permukaan putih memantulkan lebih banyak sinar matahari dan lapisan cat putih ke atap dapat menurunkan suhu di dalam hingga 3-4 derajat.
Bagi Shakeela, langkah itu menunjukkan perbedaan yang sangat besar; kamarnya lebih sejuk dan anak-anak tidur lebih nyenyak.
"Dia biasanya tidak akan tidur di siang hari," katanya, menunjuk cucunya yang sedang tidur. "Sekarang dia bisa tidur tenang."
Baca juga: COP26 Glasgow, Erdogan Batal Datang karena Masalah Keamanan
"Saya datang dari tempat yang panas," kata Sidi Fadoua. Tapi panas di Mauritania utara, Afrika barat, sekarang terlalu panas bagi banyak orang untuk tinggal dan bekerja.
Panas di sini bukan panas biasa, katanya. "Ini seperti api."
Sidi (44 tahun), tinggal di sebuah desa kecil dekat tepi Sahara. Dia bekerja sebagai penambang garam di flat terdekat.
Pekerjaannya berat, dan menjadi lebih sulit saat wilayahnya memanas karena perubahan iklim.