Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Keniscayaan Indonesia dalam Menerima Pengungsi

Kompas.com - 29/10/2021, 10:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada awal Agustus, saat Taliban baru saja berhasil menginvasi Kabul, sebuah foto pesawat berisi ratusan penduduk Afghanistan yang menjejali pesawat militer Amerika Serikat menjadi viral.

Foto yang diambil dari situs Defense One itu menunjukkan sekitar 640 orang Afghanistan duduk di lantai pesawat yang terbang keluar dari negara konflik tersebut. Pesawat militer Amerika membawa mereka ke Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar.

Pertanyaannya, bukannya menuju negara asal pesawat, mengapa malah menurunkan 640 penduduk Afghanistan itu ke Qatar? Jawabannya, tidak lain berkaitan dengan kebijakan imigrasi Amerika Serikat dalam menerima pencari suaka.

Selama kondisi Afganistan yang kurang kondusif, rupanya Biden telah menjalin komunikasi dengan beberapa negara terkait dengan proses penerimaan penduduk Afghanistan yang sudah diprediksikan akan menjadi pengungsi ataupun pencari suaka di negara-negara lain.

Salah satunya adalah Qatar yang dipersiapkan untuk mengakomodasi sekitar 8.000 penduduk Afghanistan yang dievakuasi.

Selanjutnya, mereka akan dicatat sebagai pencari suaka secara resmi oleh The United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), unit dalam naungan PBB yang secara khusus mengurus pengungsi (refugees) dan pencari suaka (asylum seeker) yang tersebar di berbagai penjuru dunia.

Perjalanan panjang pencari suaka

Pada akhir 2020, UNHCR mencatat sejumlah 82,4 juta orang terlantar yang hidup sebagai pengungsi tersebar di banyak negara di dunia.

Negara asal terbanyak para pengungsi datang dari Suriah , Venezuela, Afghanistan, Sudan Selatan, dan Myanmar. Perang sipil dan persekusi atas minoritas, perubahan iklim, dan pemerintahan yang represif disinyalir menjadi penyebab terbanyak hadirnya krisis pengungsi ini.

Fenomena tersebut sudah diantisipasi PBB dengan dibuatnya konvensi pengungsi pada 1951 silam. Ada 145 negara yang menandatangani konvensi tersebut. Meski artinya, negara yang menandatangani konvensi berarti akan hanya menerima pengungsi dalam kondisi tertentu.

Dengan kata lain, ke-145 negara tersebut belum tentu akan memberikan suaka, apalagi status kewarganegaraan pada pengungsi.

Jadi, mendapatkan izin tinggal sebagai suaka atau imigran bukan berarti langsung mendapatkan kewarganegaraan. Ada tahapan panjang yang harus dilalui pengungsi untuk akhirnya mendapatkan status paling aman untuk hidup sebagai warga negara.

Dan tahapan panjang itu kebanyakan diawali dengan proses evakuasi yang dramatis seperti yang terjadi pada penerbangan pesawat militer Amerika kemarin.

Yang juga seringkali terjadi, para pengungsi jalan kaki berhari-hari mencari titik pengungsian yang bisa memberikan mereka tempat untuk sementara, lalu melanjutkan perjalanan hingga mendapatkan penetapan status pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD) dari UNHCR.

Selain berjalan kaki, pengungsi kerap naik kapal menyeberangi lautan. Bahkan ketika sudah bertemu daratan, pengungsi ini harus dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua negara mau menerima mereka yang telah berhari-hari terombang-ambing di laut.

Keputusan Biden untuk mengirimkan penduduk Afghanistan ke Qatar adalah contoh bagaimana Amerika Serikat dan negara-negara lain punya standar tertentu dalam menerima pencari suaka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com