Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelang COP26, Deklarasi Darurat Iklim Harus Digencarkan

Kompas.com - 20/10/2021, 10:56 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

Sumber Rilis

JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia telah memutakhirkan komitmen iklim melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mencapai netral karbon pada 2060 atau lebih cepat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengemukakan, persoalan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) seharusnya tidak dipandang sebagai beban melainkan sebuah kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi menuju ekonomi rendah karbon.

“Berdasarkan kajian kami berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system, dekarbonisasi mendalam pada sistem energi di tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar,” ujar Fabby dalam webinar Menuju COP 26: Perubahan Iklim dan Peran Publik untuk Melestarikan Bumi yang diselenggarakan oleh IESR, Selasa (19/10/2021).

Baca juga: Penelitian: Iklim di Amazon pada 2500 Diramalkan Berubah Jadi Tandus

Fabby menambahkan, manfaat ekonomi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui terciptanya peluang industri baru sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar.

Selain itu, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau dari pemanfaatan teknologi energi terbarukan yang lebih murah serta udara yang lebih bersih.

Menurutnya, ambisi iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris akan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi sebagai konsekuensi dari meningkatnya suhu bumi melebih 1,5 derajat Celsius.

Menyoroti kebijakan dan tingkat literasi masyarakat terhadap krisis iklim, para pemimpin komunitas yang turut hadir dalam Menuju COP 26: Perubahan Iklim dan Peran Publik untuk Melestarikan Bumi mengemukakan bahwa kebijakan terkait iklim yang belum terintegrasi.

Baca juga: Emisi Masih Meningkat, Aksi Iklim Negara G20 Menjauh dari Ambang Batas 1,5 Derajat Celsius

Selain itu, masih kurangnya akses informasi tentang perubahan iklim membuat upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia berjalan lambat.

Tidak adanya deklarasi darurat iklim oleh pemerintah, menurut aktivis dari Extinction Rebellion Indonesia Melissa Kowara, mengindikasikan rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim sebagaimana rilis yang diterima Kompas.com.

“Belum ada sikap tegas dari tingkat tertinggi negara yang mengatakan bahwa kita ada di suatu krisis,” ujar Melissa.

“(Belum ada deklarasi yang mengatakan-red) kita akan melakukan segala suatu cara yang bisa dilakukan baik (oleh) swasta, sipil, pemerintah untuk menanggulangi masalah yang menyangkut nyawa dan kelangsungan hidup kita semua,” sambung Melissa.

Baca juga: Google Cegah Youtuber Penyangkal Krisis Iklim Hasilkan Uang

Diskursus keagamaan soal perubahan iklim

Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) Muhammad Ali Yusuf mengungkapkan, diskursus keagamaan di Indonesia masih jauh dari isu ekologis atau perubahan iklim.

“Kalaupun sudah ada, belum masuk isu prioritas utama. Untuk itu, literasi perubahan iklim juga perlu untuk tokoh-tokoh agama sebab kehidupan keagamaan tidak mungkin bisa berlanjut bila terjadi krisis iklim,” jelasnya.

Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Jimmy Sormin mendorong agar para tokoh agama perlu memainkan perannya dalam meningkatkan pemahaman umat terhadap persoalan iklim dengan membahasakannya sesuai konteks lokal.

Baca juga: Badan Lingkungan Inggris: Perubahan Iklim Ini antara Beradaptasi atau Mati

“Di daerah, dampak perubahan iklim seperti munculnya hama baru, gagal panen, dirasakan oleh masyarakat, namun mereka tidak memahaminya. Perlu membumikan hal tersebut sesuai dengan perspektif mereka (masyarakat setempat),” ujar Jimmy.

Sekretaris Jenderal, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka berpendapat bahwa seyogyanya perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan perempuan.

Namun, Mike menyayangkan isu lingkungan dan perubahan cenderung dianggap sebagai isu maskulin sehingga mengesampingkan peran perempuan dalam merawat alam dan melakukan advokasi permasalahan iklim.

“Padahal dampak perubahan iklim paling berat dirasakan perempuan karena kebijakan dan sistem kita tidak disiapkan secara inklusif. Inisiatif positif yang dilakukan oleh perempuan dengan melakukan advokasi perubahan iklim juga harus diberi pengakuan (recognition) oleh negara,” tutur Mike.

Baca juga: WHO: Perubahan Iklim, Ancaman Kesehatan Terbesar yang Dihadapi Manusia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Rilis
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com