Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Invasi AS Mengubah Afganistan?

Kompas.com - 09/10/2021, 22:02 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Pada 7 Oktober 2001 silam, Amerika Serikat (AS) menginvasi Afghanistan untuk membalas serangan teroris 11 September yang diorkestrasi oleh Al-Qaeda. Tujuan utama invasi itu adalah memburu Osama bin Laden dan menghukum Taliban karena menyediakan tempat yang aman bagi pemimpin Al-Qaeda.

Dengan sedikit usaha, AS pun berhasil meruntuhkan rezim Taliban. Tapi Bin Laden masih berhasil melarikan diri. Mantan kepala Al-Qaeda itu baru berhasil dibunuh oleh pasukan AS di kota Abbottabad, Pakistan pada 2011.

Meski invasi AS sebagian besar menuai sukses, para militan Taliban dan Al-Qaeda masih terpencar. Mereka berhasil menyatu kembali hanya beberapa tahun setelah pemerintahan Hamid Karzai yang didukung Barat berkuasa di Kabul.

Di tahun 2005, Taliban berhasil mendapatkan kembali sebagian besar kekuatannya yang hilang, dan sejak itu meluncurkan gerakan kekerasan untuk nenantang kehadiran NATO.

Baca juga: Serangan Bom Bunuh Diri di Masjid Kota Kunduz Afghanistan, Sekitar 100 Orang Tewas dan Terluka

Yang benar dari invasi AS

Bagi banyak warga Afghanistan, invasi AS dan runtuhnya rezim Taliban membawa perubahan positif. Banyak orang menjadi optimistis tentang masa depan negara mereka.

Invasi yang dipimpin AS juga berhasil mendorong perekonomian Afghanistan. Sistem kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup secara umum meningkat di kota-kota besar. Pekerjaan rekonstruksi dan pembangunan pun mulai berjalan, dan pekerjaan baru bagi rakyat Afghanistan bermunculan.

"Empat tahun pertama setelah invasi AS relatif baik,” kata Ahmad Wali, seorang warga Afghanistan berusia 30 tahun di kota Ghazni, kepada DW.

Hal senada dikemukakan Nematullah Tanin, seorang jurnalis yang berbasis di Kabul. "Waktu itu kami bisa menulis konstitusi kami sendiri, dan memiliki demokrasi yang berfungsi. Ini adalah pencapaian terbesar kami,” ujarnya.

Sementara Arezo Askarzada, seorang dosen di sebuah universitas di Kabul mengaku hidup sebagai pengungsi di Pakistan sebelum pasukan NATO menginvasi Afghanistan. Dia dan keluarganya akhirnya kembali ke Afghanistan setelah invasi untuk mencari masa depan yang lebih baik.

"Kami harus membangun semuanya kembali. Terlepas dari kesulitan ini, 20 tahun terakhir adalah tahun-tahun terbaik dalam hidup saya. Saya bisa belajar, dan setelahnya saya dapat mengajar orang lain, termasuk perempuan,” ujarnya kepada DW.

Baca juga: Dampak Taliban Kuasai Afghanistan: Cara Indonesia Cegah Teroris Kambuhan

Apa yang salah?

Namun, optimisme itu tidak bertahan lama. Pada 2003, AS terlibat dalam perang Irak, berharap bahwa pemerintahan Karzai, dengan dukungan dari pasukan Barat, dapat memadamkan pemberontakan dan menempatkan Afghanistan di jalur kemajuan.

"Pada saat-saat kritis dalam perjuangan untuk Afghanistan, pemerintahan Bush mengalihkan sumber daya intelijen dan rekonstruksinya ke Irak, termasuk tim elit CIA dan unit Pasukan Khusus yang terlibat dalam pencarian teroris,” tulis surat kabar The New York Times pada Agustus 2007.

"Para kritikus Presiden Bush telah lama berpendapat bahwa perang Irak mengurangi upaya Amerika di Afghanistan, namun dibantah oleh pemerintah. Dan sebuah pemeriksaan tentang bagaimana kebijakan itu dibuka di dalam pemerintahan justru mengungkap adanya perpecahan yang mendalam tentang bagaimana melanjutkan misi di Afghanistan,” tambah The New York Times.

Sejak 2005, para pejabat AS terus menuduh Pakistan menyediakan perlindungan bagi militan Taliban. Tetapi Washington tidak pernah memberikan tekanan berarti ke Islamabad untuk menangani masalah tersebut.

Kebangkitan Taliban di paruh kedua tahun 2000-an pun akhirnya membuat kekerasan di negara itu meningkat. Serangan bom bunuh diri menjadi rutinitas, dan nyawa warga sipil yang menjadi harganya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com