Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Evergrande: Awal Mula Petaka, Utang Rp 4 Kuadriliun, dan Ruginya Ribuan Orang

Kompas.com - 02/10/2021, 20:36 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

SHENZHEN, KOMPAS.com - Perusahaan raksasa properti China, Evergrande, berkembang sangat pesat sehingga melebar ke berbagai sektor mulai dari klub sepak bola, susu formula bayi, hingga mobil listrik.

Sekarang, Evergrande sedang ditangani oleh penasihat dari luar yang bertugas mengatasi utang sebesar lebih dari 400 miliar dollar (sekitar Rp 4.000 triliun).

Sebagai salah satu pengembang real estate terbesar, perusahaan ini mengeklaim memiliki lebih dari "1.300 proyek di 280 kota di China dan merupakan pelopor penyediaan rumah dengan dekorasi yang bagus".

Baca juga: Terancam Bangkrut, Evergrande Akan Jual Rp 21,4 Triliun Saham

Sektor properti di negara itu masih booming sampai tahun ini.

Permintaan real estate di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, Shenzhen, dan Guangzhou telah mendongkrak harga properti menjadi salah satu yang termahal di dunia.

Evergrande mengambil pinjaman demi pinjaman untuk memenuhi permintaan tersebut.

Tapi kemudian terjadi penurunan harga properti di kota-kota kecil menyusul adanya tindakan pemerintah setempat yang bertujuan membatasi pinjaman berlebihan di sektor real estate.

Para ekonom menyatakan potensi keruntuhan perusahaan itu "merupakan ujian terbesar yang dihadapi sistem keuangan China selama ini."

Ribuan investor, pemasok, dan karyawan Evergrande telah berharap agar pemerintah turun tangan membantu mendapatkan kembali uang mereka dari perusahaan ini.

Sampai sekarang, Beijing menolak tegas langkah mengambilalih masalah perusahaan itu.

Tiga garis merah

Generasi kelas menengah China banyak berinvestasi di sektor properti dalam beberapa tahun terakhir.REUTERS/BOBBY YIP via ABC INDONESIA Generasi kelas menengah China banyak berinvestasi di sektor properti dalam beberapa tahun terakhir.
Kemelut keuangan Evergrande bermula ketika Beijing menerapkan aturan ketat atas industri real estate pada bulan Agustus lalu.

Dikenal sebagai batas 'Tiga Garis Merah', aturan tersebut bertujuan untuk mengekang utang dan membuat sektor real estate lebih terjangkau bagi warga China pada umumnya.

"Kebijakan ini memaksa perusahaan untuk menawarkan diskon lebih besar demi menjaga arus kas mereka," jelas Mark Williams, kepala ekonom Capital Economics Asia.

Evergrande dikabarkan tidak mampu lagi melakukan pembayaran bunga pinjamannya.

Baca juga: Lagi, Evergrande Gagal Bayar Bunga Obligasi Rp 667 Miliar


Sejauh ini, pemimpin China di Beijing tampaknya enggan untuk menyelamatkan perusahaan itu, sehingga mengakibatkan ribuan orang mengalami kerugian dan sebagian hancur secara finansial.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com