Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/09/2021, 12:02 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Pembiayaan energi terbarukan di Indonesia makin terbuka luas seiring meningkatnya komitmen negara maju membantu transisi energi terbarukan di negara berkembang.

Pembiayaan tersebut membutuhkan dukungan kebijakan pemerintah yang dapat meminimalisasi risiko pendanaan dan meningkatkan minat investasi ke energi terbarukan.

Hal tersebut diungkapkan penasehat Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Deni Gumilang pada hari keempat Indonesia Energi Transition Dialogue (IETD) 2021 pada Jumat (24/09/2021).

Baca juga: Pengembangan PLTN Stagnan, Energi Terbarukan Justru Meningkat Pesat

Deni mengatakan, saat ini sudah tersedia berbagai macam instrumen pengurangan risiko pendanaan energi terbarukan untuk Indonesia.

Instrumen itu di antaranya adalah penyediaan jaminan, green bond alias sukuk hijau, dan pinjaman lunak.

Namun, menurut Deni, instrumen pengurangan risiko ini perlu didukung dengan kebijakan dan regulasi yang dapat mengurangi risiko investasi energi terbarukan.

Salah satu kebijakan dan regulasi yang mendukung adalah penetapan target energi terbarukan yang jelas.

Baca juga: Pekerjaan Rumah Indonesia Masih Besar dalam Transisi Energi

“Selama ini masih ada banyak perbedaan target penurunan emisi di dalam pemerintah. Jika ada konsistensi dalam target, maka kerja sama antara seluruh pemangku kebijakan akan lebih mudah dijalankan,” tutur Deni.

Deni menambahkan, Indonesia perlu memperhatikan dukungan teknis pembangunan energi terbarukan yang terintegrasi, menciptakan iklim perizinan yang mendukung proyek skala kecil, dan meningkatkan kredibilitas proyek energi terbarukan.

Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur PT SMI, Edwin Syahruzad, mengatakan bahwa pihak perusahaan sudah menyediakan proyek pengurangan risiko dengan pemberian dukungan teknis.

Hal itu memudahkan pengembang untuk mengakses teknologi dan pembiayaan suatu proyek energi terbarukan.

Baca juga: Seruan Dekarbonisasi Sistem Energi Secepatnya Melalui IETD 2021

Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Faisal Basri menyampaikan, energi terbarukan dibutuhkan untuk mendorong perkembangan ekonomi Indonesia.

Sebab, apabila tidak segera dilakukan dekarbonisasi, Indonesia diprediksi mengalami defisit energi yang cukup besar.

“Kalau kita tidak segera melakukan dekarbonisasi maka tahun 2040 kita akan defisit energi sebesar 80 miliar dollar AS,” kata Faisal.

Karena defisit energi, Indonesia akan lebih banyak mengimpor daripada ekspor energi karena kebutuhan dalam negeri akan melonjak.

Baca juga: Pajak Karbon Penting untuk Menekan Pertumbuhan Emisi Gas Rumah Kaca

“Oleh karena itu, kita butuh rencana jangka panjang makro ekonomi dengan cara dekarbonisasi lebih cepat,” tutur Faisal.

Menurut Faisal, kenyataannya selama ini, kebijakan pemerintah belum berpihak pada energi terbarukan.

Hal tersebut tercermin dari APBN yang masih memberi subsidi ratusan triliun rupiah untuk energi fosil.

Faisal berpendapat pemerintah, perlu mengedepankan kebijakan yang nyata untuk mendukung riset energi terbarukan dan memastikan perkembangan industri energi terbarukan agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen.

Baca juga: Tak Hanya Mobil Listrik, Bahan Bakar Nabati Juga Penting Turunkan Emisi

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com