Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/09/2021, 20:52 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

BOSTON, KOMPAS.com - Di tengah krisis iklim yang semakin parah, para peneliti fokus mencari solusi untuk menghadirkan sumber energi bersih yang bisa mengurangi dampak krisis. Bukan hanya ramah lingkungan, tapi juga murah dan bisa dijangkau masyarakat.

Hal itulah yang coba dilakukan Noor Titan Putri Hartono, peneliti MIT asal Indonesia, yang bercita-cita membantu pemerataan akses listrik di Tanah Air.

“Seru banget sih kayak nyampur-nyampur, kayak gimana ya kalau misalkan aku tambahi itu, oke order material baru, kita coba… ‘Mari kita coba,’ kayak Sisca Kohl gitu, hahaha…,” tukasnya dikutip dari VOA Indonesia.

Baca juga: Kisah WNI Jual Martabak Manis di New York, Warga AS Sangat Suka

Ceria dan humoris. Itulah kesan setelah bertemu dengan Noor Titan Putri Hartono di kampus Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Boston, AS.

Titan adalah peneliti di Laboratorium Riset Photovoltaic MIT. Sejak tahun 2016, ia fokus mengembangkan material panel surya yang lebih murah dan efisien.

VOA INDONESIA Noor Titan Putri Hartono, peneliti di Photovoltaic Research Laboratory, MIT (foto: courtesy).

“Karena saat ini kan harganya mahal banget nih, dan susah banget kalau misalkan kita pingin punya di Indonesia,” ungkapnya.

Itulah yang mendorong Titan menekuni penelitiannya. Pemerataan akses listrik di Indonesia, menurutnya, bisa banyak terbantu dengan teknologi panel surya.

Bukan saja karena ramah lingkungan, tapi juga, “karena itu enggak butuh transmisi dari pulau Jawa, tapi kita bisa bangun di pulau tersebut, kayak microgrid, terus orang-orang bisa langsung menikmati listriknya di tempat tersebut.”

Lebih dari 1.000 sampel

Titan memulai pencarian material panel surya murah ketika mengambil studi pascasarjana di MIT lima tahun lalu, persis setelah menyelesaikan pendidikan S1 di kampus yang sama.

Tanpa jeda, perempuan asal Cimahi, Jawa Barat itu melanjutkan penelitian tersebut saat menempuh pendidikan doktoral – lagi-lagi – di MIT.

“Kalau kita lihat panel surya di market gitu, kan rata-rata kebanyakan, sekitar 80 persennya itu dari silikon. Tapi silikon itu, salah satu drawback-nya dia lumayan mahal, karena kayak bikin infrastrukturnya, untuk processing-nya itu sangat mahal."

"Kalau perovskite ini, dia diprediksi harganya bisa jadi lebih murah, dan efisiensinya itu udah comparable sama silikon,” tutur Titan, “Tapi ada satu challenge-nya itu adalah dia kurang stabil.”

Baca juga: Serangan 11 September, Cerita Imam Indonesia di New York Dipeluk Tetangga Katolik dan Dikirim Bunga oleh Pendeta

Para pekerja memasang panel surya di atap bandara Van Nuys di Los Angeles (foto: ilustrasi). Sekitar 80 persen panel surya saat ini dibuat dari silikon.
AP via VOA INDONESIA Para pekerja memasang panel surya di atap bandara Van Nuys di Los Angeles (foto: ilustrasi). Sekitar 80 persen panel surya saat ini dibuat dari silikon.
Menemukan formula perovskite yang stabil lantas menjadi fokus utama Titan. Perovskite sendiri adalah mineral yang sudah ditemukan sejak abad ke-19. Akan tetapi, jenis perovskite yang dikembangkan khusus untuk panel surya baru diteliti satu dekade terakhir.

Setelah membuat lebih dari 1.000 sampel, Titan akhirnya berhasil menciptakan komposisi perovskite yang delapan kali lebih stabil dari sebelumnya. Namun, perjalanan untuk sampai pada tahap produksi massal sebagai bahan utama panel surya masih amat panjang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com