Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemandu Nomaden Ceritakan Rahasia Kuno Gurun Sahara

Kompas.com - 13/09/2021, 16:06 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

TIMBUKTU, KOMPAS.com - Azima Ag Mohamed Ali lahir dan dibesarkan di padang pasir tapi dia memilih pindah ke Timbuktu untuk berbagi cerita mengenai Sahara kepada para pengelana.

Saat matahari mendekati cakrawala, sebelum adzan terakhir hari itu, Azima memulai perjalanan malamnya melalui jalan-jalan berpasir di Timbuktu, Mali. Sepanjang jalan, satu per satu temannya mulai melangkah di sampingnya.

Sapaan di antara mereka berlanjut lama setelah pertama bertemu, saling jabat tangan lembut seiring dengan ditanyakannya berulang-ulang tentang kesehatan teman dan keluarga mereka.

Baca juga: Video Eksodus Pengungsi Afghanistan, Jalan Bermil-mil Lewati Gurun dan Lintasi Perbatasan ke Iran

Percakapan mereka mendalam dan tidak tergesa-gesa, seiring dengan langkah santai mereka.

Berbalut jubah nila yang tebal, mereka melewati jalan-jalan Timbuktu dan melanjutkan ke bukit pasir yang terletak tepat di luar pinggiran barat kota itu.

Ketika akhirnya keluar dari kota, mereka duduk di atas pasir dan menyeduh sepoci teh saat panas. Mereka lelah dari kegiatan seharian itu.

"Teh pertama selalu kuat seperti halnya kematian," kata Azima.

"Yang kedua ringan seperti kehidupan. Dan yang ketiga manis seperti cinta. Kamu harus minum ketiganya," ujarnya seraya tersenyum.

Baca juga: Kisah Pasukan Elite Inggris SAS Selamatkan 20 Rekannya dari Kepungan Taliban di Gurun

Seperti banyak orang Tuareg, orang-orang yang dulunya nomaden di Gurun Sahara, Azima lahir di gurun, jauh di luar Kota Timbuktu.

Akta kelahirannya menyatakan bahwa ia lahir pada 1970, tetapi itu adalah perkiraan yang hanya digunakan untuk dokumen resmi. Tidak ada yang benar-benar tahu pasti.

"Saya pikir saya jauh lebih tua dari itu," katanya.

Sebagai seorang anak di Sahara, bahaya yang dihadapinya tidak pernah lebih besar dari sebuah badai pasir hebat.

"Suatu hari, ketika saya masih kecil, saya pergi menunggangi unta saya untuk mencari air. Dalam perjalanan kembali ke kamp, ada badai pasir," ujarnya.

Baca juga: Kisah Perang: Erwin Rommel Sang Rubah Gurun dan Plot Membunuh Hitler

"Langit hitam dan saya bahkan tidak bisa melihat tangan saya. Tidak ada peringatan sama sekali. Mungkin ada selama lima menit seperti itu," kata Azima.

"Saya duduk dan menunggu badai berakhir. Itu berlangsung mungkin tiga jam. Lalu saya kembali ke kamp. Tapi kemudian kami harus pergi dan menemukan ayah saya karena dia pergi mencari saya," ucapnya.

Azima masih remaja ketika pertama kali melihat kota yang kelak menjadi rumahnya. "Saya terpesona melihat lampu!" kenangnya.

Anggota keluarganya masih hidup semi-nomaden di padang pasir. Namun ketika dewasa, kekeringan dan kebutuhan untuk mencari nafkah mendorong Azima pindah ke Timbuktu. Di sana ia mendirikan bisnis pemandu turis yang ingin menjelajahi Sahara.

Hatinya tetap berada di gurun pasir bahkan ketika dia harus berada di kota.

Baca juga: China Dicurigai Bangun Lebih dari 100 Silo Rudal di Gurun Gansu

Bagi orang luar, Sahara dan Timbuktu seakan mengintip ke dalam dunia yang dulu pernah dikenal dan kini tiada.BBC INDONESIA Bagi orang luar, Sahara dan Timbuktu seakan mengintip ke dalam dunia yang dulu pernah dikenal dan kini tiada.

Dia menolak untuk memasang sambungan telepon karena dia tidak ingin menjadi bergantung pada hal itu sehingga tidak akan pernah bisa pergi meninggalkannya.

Ketika dia tidak memiliki klien, dia akan melarikan diri ke padang pasir, menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk berkemah, minum teh dengan teman-teman dan tidur di bawah bintang-bintang.

Setiap kali dia harus berada di kota, penjelajahan malam ke bukit-bukit pasir di luar kota adalah pelariannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com