Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelang Lengsernya Kanselir Jerman Angela Merkel, Akankah Muncul Instabilitas Politik dan Ekonomi Dunia?

Kompas.com - 30/08/2021, 18:52 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

BERLIN, KOMPAS.com - Kanselir Jerman Angela Merkel sempat mendapat julukan sebagai “The Leader of the Free World” ketika para populis otoriter berunjuk rasa di Eropa dan Amerika Serikat; namun Merkel meninggalkan 16 tahun kepemimpinannya dengan penuh ketidakpastian—baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pasalnya, Merkel (67) selama ini juga acap disebut dalam lingkup eksekutif sebagai “kanselir abadi” karena popularitasnya sangat kuat dan dianggap bisa saja memecahkan rekor memimpin Jerman selama lima periode jika menginginkannya.

Namun, Merkel justru memutuskan mundur sebagai kanselir Jerman atas pilihannya sendiri; meninggalkan sebuah generasi pemilih tanpa mengetahui siapa orang lain yang bisa menggantikannya.

Baca juga: Kanselir Jerman Akui Negara-negara Barat Remehkan Taliban

Para pendukungnya menyebut Merkel telah menghadirkan kepemimpinan yang stabil dan pragmatis dalam melewati berbagai krisis global sebagai pihak penengah dan figur pemersatu.

Namun, para kritikus berpendapat gaya kepemimpinan Merkel yang cenderung mengatasi persoalan di depan mata, diperkuat konsensus seluas mungkin, menjadikan Eropa dan perekonomiannya kurang memiliki visi yang jelas untuk beberapa dekade mendatang.

Terlepas dari hal itu, apa yang bisa dipastikan dari berakhirnya masa kepemimpinan Merkel ialah konstelasi politik yang terpecah oleh pertanyaan besar terkait siapa yang akan memimpin Jerman dalam beberapa minggu jelang pemilu 26 September 2021 mendatang.

Kanselir Jerman Angela Merkel berfoto bersama para kepala negara Afrika dan peserta KTT 'G20 Compact with Africa di Chancellery Berlin, Jerman, (19/11/2019).REUTERS/F BENSCH via DW INDONESIA Kanselir Jerman Angela Merkel berfoto bersama para kepala negara Afrika dan peserta KTT 'G20 Compact with Africa di Chancellery Berlin, Jerman, (19/11/2019).
Afrika ditinggal tanpa kepastian?

Sebuah era akan berakhir Jumat (27/8/2021) ini ketika kanselir Jerman Angela Merkel bertemu para kepala negara Afrika secara langsung dan daring dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) “Compact with Africa Conference.”

KTT ini digadang-gadang menandakan berakhirnya peran Afrika yang lebih luas dalam kancah politik Jerman dibanding sebelumnya dengan berakhirnya kepemimpinan Merkel.

KTT di Berlin ini lantas didapuk sebagai acara untuk sebatas menilai keadaan dan situasi. Dari sudut pandang Jerman, hasilnya terlihat positif.

“Tentu saja akan ada lebih banyak perusahaan Jerman yang aktif beroperasi di Afrika, terutama Usaha Mikro, Kecil & Menengah (UMKM). Kami melihat ada pertumbuhan yang signifikan di tahun 2018 dan 2019, sebelum pandemi corona,” terang Christoph Kannengiesser, direktur eksekutif Africa Association of German Business, kepada DW.

Sementara itu, para petinggi Afrika diperkirakan tetap akan menyampaikan kata-kata yang menyenangkan untuk perpisahan kepada Merkel. Namun tidak banyak antusiasme tersisa untuk “Rencana Merkel” itu—seperti yang pernah disampikan Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara di awal tahun 2017 silam.

“Jika saya melihat negara-negara Afrika hari ini dan dibandingkan dengan pernyataan kanselir sebelumnya, saya ragu aktivitas perekonomian Jerman mengalami peningkatan signifikan,” Olumide Abimbola, direktur think-tank Africa Policy Research Institute (APRI) di Berlin, menjelaskan kepada DW.

Baca juga: Profil Pemimpin Dunia: Angela Merkel, Kanselir Jerman

Akankah “Rencana Merkel” bisa berlanjut?

Tahun 2017 hingga 2019, investasi Jerman di Afrika tumbuh berkisar 1,57 miliar euro (sekitar 26 triliun rupiah). Angka ini terbilang rendah. Pasalnya, seluruh Afrika hanya mendapatkkan 1 persen dari keseluruhan investasi Jerman di seluruh dunia.

Belum ada data yang dikeluarkan untuk tahun 2020, namun diperkirakan akan stagnan, atau dalam skenario paling baik, tumbuh sedikit akibat pandemi. Selain itu, sebagian besar perusahaan Jerman belum memandang Afrika menarik. Di tahun 2019, hanya 884 perusahaan yang berinvestasi di sana—42 perusahaan lebih banyak dibandingkan tahun 2017.

Selain itu juga belum dapat dipastikan siapa yang akan diuntungkan pada akhirnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com