Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Gadis Berprestasi Afghanistan yang Khawatirkan Masa Depannya

Kompas.com - 28/08/2021, 12:38 WIB
Tito Hilmawan Reditya

Penulis

KABUL, KOMPAS.com - Salgy Baran masih berusia 18 tahun.

Perempuan Afghanistan ini menerima nilai tertinggi di seluruh negeri pada ujian masuk universitas Afghanistan tahun ini.

Seharusnya dia tak bingung akan apa yang terjadi selanjutnya. Masa depan cerah, ada di genggamannya.

Baca juga: AS Berjanji Evakuasi Warga Afghanistan di Tengah Ancaman ISIS-K

Tapi, dilansir New York Post, dia tidak memiliki jawaban untuk "apa yang akan terjadi selanjutnya".

Baran ingin tetap tinggal di negaranya dan menjadi dokter.

Tetapi seperti banyak warga Afghanistan lainnya, rencana itu diragukan ketika Taliban masuk ke ibu kota Kabul awal bulan ini.

Mereka resmi mengambil alih Afghanistan kembali.

Para pemimpin Taliban mengatakan perempuan dan anak perempuan akan dapat bersekolah dan bekerja sesuai dengan hukum agama, tapi tanpa detail spesifik.

“Saya tidak takut sekarang, tetapi saya khawatir tentang masa depan saya,” kata Baran kepada Associated Press dalam sebuah wawancara video dari Kabul.

"Apakah mereka akan mengizinkan saya untuk mendapatkan pendidikan atau tidak?"

Baca juga: Cerita Anak Korban Holocaust yang Selamat Merasa Senasib dengan Pengungsi Afghanistan

Taliban mengatakan evakuasi massal orang asing dan warga Afghanistan yang takut akan kekuasaan mereka harus berakhir pada 31 Agustus, tanggal yang ditetapkan AS untuk menarik pasukan terakhirnya setelah 20 tahun perang.

Mereka menuduh negara-negara Barat memikat para dokter, insinyur, dan profesional lain, yang keterampilannya akan dibutuhkan untuk membangun kembali negara yang dilanda perang itu.

Jika itu masalahnya, mereka harus berharap Baran tetap tinggal.

Baran dibesarkan dalam keluarga kelas menengah di pedesaan, Afghanistan timur, di mana perawatan medis masih kurang meskipun selama dua dekade ada bantuan pembangunan internasional.

Ketika dia berusia 7 tahun, ayahnya yang menderita diabetes meninggal setelah dokter yang memberinya insulin, membuat ayahnya overdosis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com