Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok Perpaduan Budaya Indonesia-China di Pusat Perdagangan Maritim Kuno

Kompas.com - 11/08/2021, 14:16 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

Sumber Xinhua

FUZHOU, KOMPAS.com - Saat itu pertengahan musim panas. Sebelum tengah hari dan dengan keringat yang mengucur deras, Fu Ruichang (50) sibuk memanggang babi muda guling di sebuah panggangan di luar restoran kecilnya di Komunitas Nanshan di Kota Quanzhou, Provinsi Fujian, China timur.

Hidangan ini, yang berasal dari Pulau Bali, sesaat lagi akan disajikan kepada puluhan siswa asing. Bagi Fu, menyajikan kebudayaan Indonesia melalui masakannya kepada pelanggan merupakan sebuah kebahagiaan.

Komunitas Nanshan merupakan sebuah permukiman bagi warga China perantauan yang kembali dari luar negeri, khususnya dari Bali, bersama keluarga mereka. Lebih dari 500 di antaranya kini tinggal di komunitas tersebut.

Baca juga: 3 Senjata Rahasia Kuno yang Hilang dari Peradaban: Pedang Damaskus hingga Api Yunani

Di komunitas ini, di antara gedung-gedung apartemen dengan puncak segitiga merah, pohon palem, nangka, dan tanaman tropis lainnya tumbuh subur, mengingatkan orang-orang tentang pemandangan di Bali.

Lahir dan tumbuh di Quanzhou, Fu mempelajari keterampilan kuliner Indonesia dari orang tuanya, yang menghabiskan beberapa dekade pertama dalam hidup mereka di Bali.

Fu merasa yakin dengan masakannya. Pernah suatu kali, seorang warga Indonesia datang ke restoran miliknya dan mengatakan bahwa masakan Fu memiliki rasa yang autentik, dengan cita rasa tradisional Indonesia yang sama persis.

Nanshan dan Bali kerap mengadakan kontak. Sebelum pandemi Covid-19, berbagai bahan dan rempah-rempah dalam hidangan Fu diimpor langsung dari Indonesia.

Dahulu kala, rempah-rempah menjadi komoditas ekspor penting bagi Indonesia di sepanjang Jalur Sutra Maritim.

Baca juga: 170 Pemadam Kebakaran Dikerahkan di Dekat Situs Yunani Kuno Olympia dan Pulau Evia

Pada 25 Juli tahun ini, Quanzhou, kampung halaman Fu yang juga menjadi titik awal jalur kuno tersebut, diresmikan sebagai warisan dunia ke-56 China lantaran perdagangan maritimnya yang makmur selama abad ke-10 hingga ke-14.

Sejak periode itu, warga China dari beberapa generasi telah merantau dan mencari nafkah di luar negeri.

Pada 1961, Cai Jinji yang kala itu berusia 19 tahun, menaiki kapal dari Pulau Bali bersama ratusan warga China lainnya lalu bermukim di Quanzhou, kampung halaman bagi banyak warga China perantauan. Sejak saat itu, Komunitas Nanshan pun terbentuk.

Enam puluh tahun kemudian, Cai Jinji masih lancar berbicara Bahasa Indonesia. Setelah pensiun, pria tersebut kerap mengajarkan bahasa tersebut kepada anak-anak di Nanshan selama libur sekolah.

Baca juga: Api Yunani: Senjata Kuno Mematikan Pelindung Kekaisaran Bizantium dari Abad ke-7

Tidak saja dengan bahasa, warga Nanshan mengingat Indonesia melalui banyak cara. Banyak di antara mereka memakai batik dan sarung, pakaian tradisional Indonesia dengan pola aneka warna. Pada malam hari, mereka menari dengan terampil diiringi lagu-lagu Indonesia di lapangan komunitas tersebut.

Beberapa tahun terakhir, kesan warga Nanshan tentang Indonesia ini menjadi jembatan komunikasi. Sebelum pandemi, selama sekitar dua dekade, orang-orang dari Komunitas Nanshan dan Pulau Bali saling berkunjung setiap tahunnya.

Chen Meifang, menantu Cai Jinji, membuat kue-kue khas Indonesia di restoran.XINHUA/CHEN WANG Chen Meifang, menantu Cai Jinji, membuat kue-kue khas Indonesia di restoran.

Fu mengunjungi Bali untuk kali pertama pada 2001 sebagaimana dilansir Xinhua.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com