Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demo Thailand: Apakah Reformasi Monarki yang Dituntut Demonstran Bisa Terwujud?

Kompas.com - 29/07/2021, 22:40 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

BANGKOK, KOMPAS.com - Gerakan pro-demokrasi Thailand yang dipimpin oleh para pemuda telah mendobrak tabu selama ini bahwa monarki tidak bisa diguncang.

Tindakan pembangkangan terbaru mereka diserukan lewat sosial media. Saat ulang tahun raja pada Rabu (28/7/2021) orang-orang biasanya secara tradisional mengenakan pakaian kuning. Namun, sebagai bentuk protes, demonstran mengenakan pakaian hitam.

Pada puncaknya akhir tahun lalu, ratusan ribu pengunjuk rasa gerakan pro-demokrasi Thailand menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha, dan menginginkan monarki yang lebih transparan dan akuntabel.

Baca juga: Alami Krisis Makanan, Geng Monyet Serbu Jalanan di Thailand

"Protes tampaknya telah mereda untuk saat ini, tetapi saya yakin para pengunjuk rasa telah mencapai tingkat yang luar biasa dalam hal membuat masalah reformasi monarki menjadi perhatian publik," ujar Pavin Chachavalpongpun, seorang akademisi Thailand dan kritikus terkemuka monarki yang tinggal di pengasingan di Jepang, kepada DW.

Tercipta diskusi publik tentang reformasi monarki

James Buchanan, seorang peneliti politik Thailand di City University of Hong Kong, yakin bahwa terciptanya diskusi publik tentang monarki adalah "perkembangan yang sangat besar."

"Pencapaian nyata dari gerakan ini adalah mendobrak tabu tentang mengkritik institusi dan mengatasi ketakutan akan undang-undang "lese majeste" alias regulasi penghinaan monarki yang melindunginya," Buchanan lebih lanjut.

Hukum "lese majeste" Thailand, atau Pasal 112, melindungi keluarga kerajaan dari kritik dan dapat menjerat orang dengan hukuman hingga 15 tahun penjara.

Mencabut undang-undang tersebut adalah salah satu tuntutan yang dilontarkan oleh para demonstran dalam manifesto 10 poin. Pengunjuk rasa juga menyerukan pengurangan kekuatan politik monarki, termasuk diakhirinya dukungan kerajaan atas kudeta dan pemotongan anggaran kerajaan yang sangat besar.

"Membicarakan monarki sudah sulit. Tapi mendorong reformasi seperti ini lebih sulit lagi," kata Pavin.

Baca juga: Mengenal Hukum Lese-Majeste, Lindungi Raja Thailand dari Kritikan

Monarki memegang kendali atas politik

Thailand adalah monarki konstitusional, dengan raja secara resmi berada di luar proses politik. Namun dalam kenyataannya, istana selama beberapa dekade memiliki pengaruh besar atas perkembangan di negara ini, dengan berulang kali bertujuan mengubah wacana politik dan mempertahankan kendali tertinggi.

Sejak tahun 1932 ketika monarki absolut dihapuskan, Thailand telah mengalami 13 kudeta yang berhasil, masing-masing dengan persetujuan raja.

Setelah pemilihan umum yang disengketakan pada 2019, Maha Vajiralongkorn yang duduk di puncak takhta kekuasaan di Thailand, mendukung kabinet militer mantan pemimpin kudeta Prayuth.

Raja Maha Vajiralongkorn mengambil langkah signifikan untuk mengonsolidasikan kekuatan keuangan dan militer monarki.ZUMAPRESS/GUILLAUME PAYEN via DW INDONESIA Raja Maha Vajiralongkorn mengambil langkah signifikan untuk mengonsolidasikan kekuatan keuangan dan militer monarki.
Sejak naik takhta setelah kematian ayahnya, Bhumibol Adulyadej yang dihormati, Vajiralongkorn telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk mengonsolidasikan kekuatan keuangan dan militer monarki, menguasai pundi-pundi kerajaan dan menempatkan unit-unit tentara yang berpengaruh di bawah kendali langsungnya.

Langkah-langkah ini membuat Maha Vajiralongkorn tidak populer di kalangan generasi muda di Thailand.

Pemerintah menindak perbedaan pendapat

Pemerintah Thailand telah mengintensifkan tindakan kerasnya terhadap para demonstran, menangkapi para pemimpin kunci dan menuduh mereka dengan pasal hasutan dan pencemaran nama baik kerajaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com