Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Darmansjah Djumala
Diplomat dan Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri

Dewan Pakar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri dan Dosen Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung.

Jalan Terjal Diplomasi Nuklir Iran

Kompas.com - 12/07/2021, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

IRAN punya pemimpin baru. Ebrahim Raisi, tokoh kelompok konservatif, memenangi pemilihan presiden yang diumumkan pada 19 Juni lalu. Raisi menggantikan Hassan Rouhani dari kelompok moderat reformis.

Baca juga: Resmi, Ebrahim Raisi Jadi Presiden Terpilih Iran

Pergantian kepemimpinan nasional dari kelompok moderat ke konservatif, dan sebaliknya, merupakan peristiwa politik biasa di Iran.

Tapi menjadi tidak biasa manakala perpindahan tampuk kepemimpinan itu terjadi pada saat Iran sedang menghadapi agenda politik internasional: perundingan nuklir dengan Amerika Serikat (AS).

Setelah AS meninggalkan perjanjian nuklir dengan Iran, JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action), pada Mei 2018, perundingan baru dimulai lagi pada April lalu.

Dengan naiknya Raisi - dikenal sebagai politisi dari kelompok konservatif garis keras - sebagai pemimpin Iran, banyak pihak berspekulasi atas masa depan perundingan nuklir Iran.

Baca juga: Alasan Presiden Terpilih Iran Ebrahim Raisi Disebut Sang Jagal oleh Barat

 

Bagaimana membaca prospek perundingan itu di era Raisi?

3 tataran observasi

Silang sengkarut perundingan nuklir Iran dapat diteropong dari 3 tataran observasi. Pertama, dilihat dari proses negosiasinya, perundingan nuklir Iran sudah menunjukkan adanya ketidaklaziman.

Delegasi Iran dan AS tidak bertemu langsung. AS diwakili oleh diplomat senior Uni Eropa. Agak muskil membayangkan tercapai kesepakatan dengan mulus apabila kedua pihak yang paling berkepentingan tidak sudi bertemu untuk berunding.

Sikap Iran ini bisa dimengerti. Sebab, bagi Iran, dengan keluarnya AS dari kesepakatan JCPOA pada 2018, AS bukan lagi bagian dari perjanjian itu.

Jika ingin merundingkan kembali isi JCPOA, buat apa berunding dengan pihak yang sudah tidak lagi mematuhi perjanjian? Di sini letak absurditas proses perundingan nuklir Iran.

Jamaknya dalam diplomasi, dialog dan perundingan bisa terjadi jika ada komunikasi. Bagaimana bisa berunding dengan intens jika kedua pihak tidak berkomunikasi langsung?

Tidak adanya dialog langsung antara delegasi AS dan Iran dalam perundingan menunjukkan masih adanya rasa saling tidak percaya (mutual distrust).

Kedua, dari aspek subtansi, perundingan diperkirakan membentur tembok berlapis kepentingan kedua pihak.

Perundingan di Wina yang masih berlangsung hingga kini sebenarnya bertujuan untuk “menghidupkan kembali“ butir-butir kesepakatan lama dalam JCPOA.

Inti kesepakatan: pembatasan pengembangan nuklir Iran dan pencabutan sanksi ekonomi atas Iran. AS dan sekutu Baratnya berjanji akan mencabut sanksi ekonomi jika Iran membatasi kemampuan nuklirnya.

Namun, ketika AS menarik diri dari JCPOA, Iran merasa tidak terikat lagi dengan isi perjanjian itu. JCPOA bubar, tak mengikat lagi. Karenanya tak perlu dipatuhi lagi.

Niat baik Presiden AS Joe Biden untuk kembali ke JCPOA pantas disambut baik. Tapi untuk itu perlu perundingan baru. Masalahnya: apakah Iran akan begitu saja menerima tawaran AS untuk berunding lagi?

Kesediaan Iran, dan juga AS, untuk memulai perundingan lagi sangat tergantung pada strategi yang akan dimainkan oleh kedua pihak.

Ketiga, dilihat dari konteks strategi perundingan, kesepakatan baru terkait nuklir Iran akan menghadapi jalan terjal. Seperti dilansir New York Times (21 Juni 2021), perundingan nuklir Iran akan menghadapi 2 kendala prinsipil.

Trauma dengan prilaku Donald Trump yang seenaknya meninggalkan JCPOA, Iran kini menuntut “jaminan tertulis” bahwa AS tidak mengulangi tindakan serupa jika nanti ada kesepakatan baru. Sebuah permintaan absurd dalam pakem diplomasi.

Sebaliknya, AS juga meminta kepastian dari Iran, pun secara tertulis, bahwa Iran bersedia berunding lagi (tentu untuk membuat kesepakatan-kesepakatan baru) apabila nanti AS benar-benar kembali ke kesepakatan JCPOA awal.

Tuntutan komitmen tertulis sebelum perundingan dimulai seperti ini tidak jamak dalam diplomasi. Hal ini hanya menegaskan satu dugaan: masih ada rasa saling curiga di antara AS dan Iran.

Jalan terjal

Jika pun nanti kedua pihak bersedia membuat “komitmen tertulis” sesuai permintaan masing-masing, masih ada jalan terjal lain yang akan didaki: kenyataan bahwa saat ini Iran sudah meningkatkan kemampuan pengayaan nuklirnya.

Dengan hengkangnya AS dari JCPOA pada Mei 2018 terbuka ruang manuver bagi Iran untuk menaikkan daya tawarnya (bargaining position).

Merasa tidak terikat lagi dengan komitmen JCPOA – karena AS sudah meninggalkan JCPOA – Iran justru terang-terangan mengumumkan pengayaan nuklirnya jauh di atas ketetapan Badan Atom Dunia, IAEA.

Sesuai JCPOA, Iran semestinya hanya boleh meningkatan pengayaan uranium sebatas 3,67 persen. Tapi setelah AS keluar dari JCPOA, Iran justru menaikkannya sampai 4,5 persen.

Bahkan, menurut laporan Dirjen IAEA terakhir (11 Mei 2021), Iran sekarang sudah mampu meningkatkan pengayaan uranium sampai 63 pesen! Suatu lompatan teknologi nuklir yang tinggal selangkah lagi menuju produksi bom berhulu ledak nuklir.

Dalam konteks strategi perundingan, kemampuan pengayaan nuklir Iran yang sudah mencapai 63 persen ini diperkirakan akan menjadi titik tengkar kedua belah pihak.

Katakanlah kedua belah pihak setuju kembali ke JCPOA dan berunding lagi untuk membuat kesepakatan baru, yang menjadi pertanyaan: titik pijak mana yang akan digunakan sebagai basis perundingan?

Bukankah sepeninggal AS, Iran sudah mampu meningkatkan pengayaan uraniumnya menjadi 63 persen?

Sangat mungkin posisi baru ini (kemampuan 63 persen) digunakan Iran sebagai basis perundingan (departing point) untuk membuat kesepakatan baru.

Boleh jadi titik 63 persen itu digunakan Iran sebagai daya ungkit (leverage) untuk menekan AS agar mencabut sanksi ekonominya.

Iran bisa berkata: kami mau berunding lagi, tapi dengan posisi 63 persen ini, dan AS harus mencabut sanksi ekonomi terlebih dahulu.

Dengan strategi perundingan seperti ini, Iran tak merasa bersalah. Sebab, bukankah AS yang lebih dulu meninggalkan JCPOA sehingga Iran merasa bebas meningkatkan kemampuan pengayaan uraniumnya hingga 63 persen. Di sinilah letak jalan paling terjal dalam proses perundingan nuklir Iran.

Harap-harap cemas

Banyak pihak harap-harap cemas terhadap prospek perundingan nuklir Iran yang sedang berlangsung di Wina. Apalagi dengan terpilihnya Raisi, tokoh politik konservatif, sebagai Presiden Iran.

Diplomasi adalah fungsi dari sebuah rezim. Dengan garis politik keras terhadap AS, naiknya Raisi ke tampuk kekuasaan Iran ditengarai membuat proses perundingan akan bertambah alot.

Tapi sebelum Raisi terpilih pun hubungan AS-Iran terkait nuklir sudah panas dingin. Dengan rendahnya tingkat saling percaya dan ketegangan politik antara AS-Iran semasa Trump, perundingan nuklir Iran bukan hanya akan melalui jalan berliku. Tetapi juga menghadapi tebing terjal dan curam.

Hanya kebajikan politik pemimpin kedua negara diplomasi nuklir Iran bisa memberi kemaslahatan, bukan kehancuran. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com