Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Sakit Myanmar Mulai Terancam Varian Covid-19 dari Negara Tetangga Pasca-Kudeta

Kompas.com - 31/05/2021, 18:24 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Reuters

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Rumah sakit Myanmar dekat perbatasan India memantik kekhawatiran akan ancaman terhadap sistem kesehatan, yang hampir runtuh sejak kudeta Februari lalu.

Reuters melaporkan pada Minggu (30/5/2021), para pasien Covid-19 di tempat itu, tampak terengah-engah, demam dan tanpa oksigen ekstra yang dapat membantu mereka tetap hidup.

Baca juga: Lawan Junta, Pemerintah Bayangan Myanmar Bersekutu dengan Pemberontak

Untuk membantu merawat tujuh pasien Covid-19 di RS Cikha, siang dan malam, kepala perawat Lun Za En memiliki teknisi laboratorium dan asisten apoteker.

Kebanyakan, mereka menawarkan kata-kata yang memberi semangat, dan minimal parasetamol.

"Kami tidak memiliki cukup oksigen, cukup peralatan medis, cukup listrik, cukup dokter atau cukup ambulans," Lun Za En (45 tahun), mengatakan kepada Reuters dari kota berpenduduk lebih dari 10.000 jiwa itu.

"Kami beroperasi dengan tiga staf, bukan 11."

Kampanye anti Covid-19 Myanmar kandas bersama dengan sistem kesehatan lainnya, setelah militer merebut kekuasaan pada 1 Februari.

Padahal sebelum pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi digulingkan, pemerintahnya telah meningkatkan pengujian, karantina, dan perawatan Covid-19.

Baca juga: Pasukan Tandingan Dibentuk, Siap Melawan Junta Militer Myanmar

Layanan di rumah sakit umum runtuh setelah banyak dokter dan perawat bergabung dengan pemogokan dalam Gerakan Pembangkangan Sipil.

Mereka pindah ke garis depan perjuangan untuk menentang kekuasaan militer, dan terkadang di garis depan protes yang telah ditumpas dengan darah.

Setidaknya Tiga belas petugas medis Myanmar tewas, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Tercatat juga 179 serangan terhadap petugas, fasilitas dan transportasi kesehatan. Jumlah itu hampir setengah dari semua serangan serupa terhadap sistem kesehatan yang tercatat di seluruh dunia tahun ini, kata perwakilan WHO Myanmar Stephan Paul Jost.

Militer Myanmar menangkap sekitar 150 petugas kesehatan. Ratusan dokter dan perawat lagi dicari atas tuduhan penghasutan.

Baik juru bicara junta maupun kementerian kesehatan tidak menanggapi permintaan komentar.

Junta, yang awalnya menetapkan memerangi pandemi sebagai salah satu prioritasnya, telah berulang kali mendesak petugas medis kembali bekerja. Hanya sedikit yang menanggapi.

Baca juga: 9 Negara Asean Termasuk Indonesia Tolak Embargo Senjata untuk Myanmar

Pengujian berhenti

Seorang pekerja di salah satu pusat karantina Covid-19 di ibu kota komersial Myanmar, Yangon, mengatakan semua petugas kesehatan spesialis di sana telah bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil.

"Kemudian lagi, kami tidak menerima pasien baru lagi, karena pusat tes Covid-19 tidak memiliki staf untuk menguji," kata pekerja tersebut, yang menolak menyebutkan namanya karena takut akan pembalasan.

Seminggu sebelum kudeta militer, tes Covid-19 Myanmar secara nasional rata-rata lebih dari 17.000 sehari. Myanmar telah melaporkan lebih dari 3.200 kematian akibat Covid-19 dari lebih 140.000 kasus.

Kemerosotan dalam pengujian telah menimbulkan keraguan atas data, yang menunjukkan kasus baru dan kematian sebagian besar tidak berubah sejak kudeta militer.

Sekarang, krisis dalam sistem kesehatan Myanmar meningkatkan kekhawatiran tentang kemungkinan dampak dari gelombang infeksi dengan varian yang melanda India, Thailand, dan negara tetangga lainnya di negara tersebut.

Penderita gejala Covid-19 mulai muncul di RS Cikha pada pertengahan Mei lalu. Jaraknya hanya 6 km (empat mil) dari India.

Petugas kesehatan khawatir penyakit itu bisa menjadi varian B.1.617.2 yang sangat menular. Meskipun mereka tidak memiliki sarana untuk mengujinya.

"Sangat mengkhawatirkan bahwa pengujian, pengobatan, dan vaksinasi Covid-19 sangat terbatas di Myanmar karena lebih banyak nyawa berisiko dengan penyebaran varian baru yang lebih berbahaya," kata Luis Sfeir-Younis, manajer operasi Covid-19 Myanmar untuk Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.

Baca juga: Masih Dilanda Kudeta, Myanmar Tak Diundang ke Rapat Tahunan WHO

Perawatan seadanya

Dua puluh empat kasus telah diidentifikasi di Cikha, kata Lun Za En. Tujuh kasus sangat serius sehingga membutuhkan rawat inap, sebuah tanda betapa sedikitnya kasus yang mungkin terdeteksi.

Himbauan “tinggal di rumah” sekarang telah diumumkan di beberapa bagian negara bagian Chin, tempat RS Cikha berada, dan wilayah tetangga Sagaing.

WHO mengatakan pihaknya berusaha menjangkau pihak berwenang dan kelompok lain di daerah itu yang dapat memberikan bantuan.

Di satu sisi organisasi internasional itu mengakui krisis sistem kesehatan negara itu, yang secara drastis membalikkan pencapaian yang mengesankan selama bertahun-tahun.

"Tidak jelas bagaimana ini akan diselesaikan, kecuali ada resolusi di tingkat politik yang menangani konflik politik," kata Jost.

Lun Za En mengatakan rumah sakitnya melakukan yang terbaik dengan nebuliser, mesin yang mengubah cairan menjadi uap, untuk meredakan sesak napas.

Beberapa pasien memiliki konsentrator oksigen, tetapi alat itu hanya bekerja selama dua jam sehari setelah kota mendapatkan listrik.

Menolak meninggalkan yang sakit, Lun Za En mengatakan dia memutuskan untuk tidak bergabung dalam pemogokan.

"Junta tidak akan merawat pasien kami," katanya.

Baca juga: Kemenlu AS: Penahanan Jurnalis oleh Militer Myanmar Ancam Demokrasi

Di seluruh Myanmar, beberapa dokter yang mogok telah mendirikan klinik bawah tanah untuk membantu pasien.

Ketika sukarelawan Palang Merah Myanmar mendirikan tiga klinik di lingkungan Yangon, mereka dengan cepat memiliki lusinan pasien.

Setidaknya, opsi semacam itu dapat memberikan perawatan dasar.

"Delapan puluh persen rumah sakit adalah rumah sakit kesehatan umum," kata Marjan Besuijen, kepala misi kelompok bantuan Medicins Sans Frontieres (MSF).

Meskipun rumah sakit militer telah dibuka untuk umum, banyak orang takut atau menolak untuk patuh. Termasuk untuk vaksinasi virus corona dalam kampanye yang diluncurkan pemerintah yang digulingkan beberapa hari sebelum kudeta militer.

"Saya sangat khawatir infeksi baru ini akan menyebar ke seluruh negeri," kata Lun Za En. "Jika infeksi menyebar ke kota-kota yang padat, itu bisa jadi tidak terkendali."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Sumber Reuters
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com