Dari beberapa ratus rumah tangga, sekitar 180 tidak memiliki bukti kepemilikan dan tidak dapat menggugat penggusuran mereka di pengadilan.
Baca juga: Menlu China: Perlakuan pada Minoritas Uighur di Xinjiang “Contoh Cemerlang” Penegakan HAM
Salah satu warga yang masih bertahan mengatakan dia belum pindah, karena yakin keluarganya tidak pernah benar-benar menjual tanah itu kepada pemerintah.
Sementara itu, warga lain di kawasan yang sama diberi tahu bahwa tanah mereka sudah menjadi milik negara.
Banyak dari mereka yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah, telah dipindahkan ke daerah yang berjarak sekitar dua kilometer dari desa Kuta.
Tetapi Olivier De Schutter, pelapor khusus PBB untuk kemiskinan ekstrem dan hak asasi manusia, mengatakan kepada BBC Indonesian Service bahwa mereka yang belum direlokasi sekarang dipaksa untuk tinggal di samping lokasi konstruksi.
Yang meresahkan menurutnya adalah pekerjaan pembangunan hotel-hotel ini dan sirkuit Moto Grand Prix dimulai, tanpa ada keluarga yang benar-benar direlokasi, dan dimukimkan kembali dalam kondisi yang memadai.
Baca juga: Begini Pembelaan AS Usai Tolak Resolusi PBB untuk Gencatan Senjata Jalur Gaza
De Schutter menilai tidak banyak yang dilakukan pemerintah Indonesia, selain memindahkan penduduk desa dan merelokasi mereka. Dia menambahkan bahwa banyak dari mereka bergantung pada desa lama mereka untuk mata pencarian mereka.
“Punya atap, air, listrik, dan makan saja tidak cukup,” ujarnya.
"Anda harus memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Jika tidak, komunitas ini akan berada dalam situasi putus asa."
Menurut ahli PBB itu, hanya menerima kompensasi uang, katanya, tidak cukup sebagai pengganti.
Damar adalah salah satu warga desa yang menerima kompensasi dari pemerintah. Tetapi kepada BBC dia mengaku yang diterimanya itu tidak cukup.
Damar adalah salah satu mantan penduduk Kuta. Dia tumbuh kurang dari 500 meter dari lokasi konstruksi sirkuit, dan memiliki area yang luas sekitar 3,3 hektar dengan bukti kepemilikan.
“Saya masih ingat pertemuan pertama pada 2019, mereka langsung bilang, Agustus, lahan harus dikosongkan,” ujarnya kepada BBC.
"Jadi kami bingung, belum ada sosialisasi, belum ada musyawarah, dan belum ada kesepakatan dari kedua pihak."
Menurut Damar, tanahnya dinilai oleh tim penilai independen dan mendapat bayaran. Tetapi dia mengatakan uang itu tidak sesuai dengan rasa sakit untuk memulai hidup baru dan kesedihan meninggalkan komunitas yang telah dia coba bangun selama bertahun-tahun.