Ketika tingkat perbedaan pendapat di seluruh lapisan masyarakat Suriah mulai terasa, oposisi berani memboikot pemilihan parlemen yang berlangsung pada 2013.
Upaya semu untuk meredakan opini publik dilakukan dalam pemilihan presiden 2014, ketika rezim mengizinkan pemilihan multipartai untuk pertama kalinya.
Tetapi Assad secara mengejutkan masih memenangkan hampir 90 persen suara setelah kampanye. Salah satu kandidat oposisi pun mengatakan kepada pemilih, bahwa petahana harus tetap menjadi presiden.
Kampanye tahun ini dimulai setelah mahkamah konstitusi menyetujui tiga dari 51 aplikasi kandidat seminggu yang lalu.
Mereka adalah Abdullah Salloum Abdullah (mantan anggota otoritas legislatif Suriah), Mahmoud Ahmad Marie (negosiator perdamaian yang disponsori PBB di Jenewa), dan Assad sendiri.
Baca juga: Peringatan Bahaya Covid-19 di Suriah, Negara dengan 90 Persen Masyarakatnya Hidup Miskin
Ketiga kandidat telah berjanji untuk memperbaiki ekonomi, yang runtuh tahun lalu di bawah
beban perang, sanksi dan Covid-19, serta membawa pulang lima juta pengungsi negara itu.
Abdullah juga berani berjanji untuk memberantas korupsi yang sistemik di Suriah.
Namun Assad dipastikan akan kembali memenangkan masa jabatan keempat untuk tujuh tahun pemerintahan.
Awal bulan ini, dia memberikan amnesti untuk lebih dari 400 pegawai negeri sipil, hakim, pengacara dan jurnalis. Mereka ditahan karena tindakan keras pemerintah terhadap perbedaan pendapat di media sosial.
Aktivis hak asasi dan kerabat dari puluhan ribu tahanan yang masih hilang di penjara rezim, melihat kebijakan itu hanya basa-basi jelang proses demokrasi palsu melalui pemungutan suara.
“Kakak saya menghilang di penjara rezim pada tahun 2013. Kami masih tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati. Mereka tidak akan memberi kami informasi apa pun,” kata Saed Eido, yang berasal dari Aleppo tetapi sekarang tinggal di kota Gaziantep di Turki.
“Semua pemilihan presiden ini tidak adil hanya untuk menutupi kejahatan dan mempertahankan kediktatoran."
Peneliti Suriah pun setuju dengan pandangan itu. Menurut Ghazi, bagi rezim pemilu adalah alat propaganda yang berguna.
“Rezim selalu membuat orang melakukan ini untuk membuktikan kesetiaan mereka. Berbaris dalam parade, mengibarkan spanduk, muncul dalam jumlah besar untuk memilih… Bagi generasi baru, ini juga merupakan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan dan kebangsaan.”
“Anak muda di Suriah saat ini tidak pernah mengalami aktivitas politik yang tidak terkait dengan aktivitas bersenjata. Ini adalah jeda dari kenyataan mengerikan mereka. Sebab mereka hanya digunakan rezim untuk membuat merasa dilibatkan dalam sistem, membuat mereka merasa menjadi bagiannya.”
Baca juga: Publik Geger, Menlu Iran Sebut Militer Seret Teheran ke Perang Saudara Suriah