Netanyahu kemudian terpilih sebagai anggota Knesset (parlemen Israel) dari partai sayap kanan Likud. Dia menjabat sebagai wakil menteri untuk urusan luar negeri pada 1988.
Lima tahun kemudian, dia terpilih sebagai ketua partai Likud. Posisi ini sekaligus mendorongnya naik ke kontestasi pemimpin tertinggi Israel sebagai calon perdana menteri.
Pada 1996, Netanyahu memenangkan Jabatan Perdana Menteri Israel. Keberhasilan ini membawanya menjadi pemimpin termuda Israel, dan yang pertama lahir setelah negara itu didirikan pada 1948.
Netanyahu sempat mengkritik keras perjanjian perdamaian Oslo 1993 antara Israel dan Palestina.
Tapi untuk memajukan proses perdamaian dengan Palestina, dia akhirnya menandatangani kesepakatan, yang menyerahkan lebih dari 80 persen dari Hebron ke kendali Otoritas Palestina.
Selain itu, Netanyahu juga menyetujui penarikan lebih lanjut pasukan dari Tepi Barat yang diduduki Israel. Kebijakan ini menimbulkan banyak pertentangan dari sayap kanan Israel.
Sementara di dalam negeri, dia memperluas privatisasi pemerintah, dan meliberalisasi mata uang, hingga mengurangi defisit “Negeri Zionis”.
Pada 1999, setelah mengadakan pemilu 17 bulan lebih awal dari seharusnya, Netanyahu dikalahkan oleh pemimpin Partai Buruh Ehud Barak, mantan komandannya.
Baca juga: Israel Umumkan Tewaskan Komandan Jihad Islam di Gaza
Setelah kekalahan itu, Netanyahu mengundurkan diri sebagai pemimpin Likud dan digantikan oleh Ariel Sharon.
Namun, dia kembali masuk ke pemerintahan setelah Sharon terpilih sebagai perdana menteri pada 2001. Kali ini Netanyahu menjabat sebagai menteri luar negeri dan kemudian sebagai menteri keuangan.
Pada 2005, dia mengundurkan diri sebagai protes atas penarikan Israel dari Jalur Gaza.
Pada 2009, Netanyahu kembali memenangkan kepemimpinan di partai Likud, dan terpilih sebagai perdana menteri untuk kedua kalinya.
Setelah itu untuk pertama kalinya dia menyetujui pembekuan pembangunan selama 10 bulan di Tepi Barat. Periode itu, memungkinkan pembicaraan damai dengan Palestina.
Pemimpin Israel ini ketika itu menyerukan demiliterisasi Palestina, yang mengakui negara Yahudi.
Dalam pidatonya yang terkenal pada Juni 2009 di Universitas Bar-Ilan, dia berkata, "Saya mengatakan kepada Presiden Obama di Washington, jika kami (Israel) mendapatkan jaminan demiliterisasi (Palestina), dan jika Palestina mengakui Israel sebagai negara Yahudi, kami siap menyetujui perjanjian damai secara nyata."
Tetapi negosiasi gagal pada akhir 2010. Dia kemudian memperkuat posisinya dengan menyatakan dalam wawancara radio pada 2019 bahwa "Negara Palestina tidak akan dibuat, tidak seperti yang dibicarakan orang. Itu tidak akan terjadi."
Baca juga: Erdogan Desak Paus Fransiskus Bantu Hentikan Pembantaian Israel di Gaza
Serangan Palestina dan aksi militer Israel berulang kali membawa “Negeri Zionis” ke dalam konfrontasi di dalam dan sekitar Jalur Gaza, sebelum dan setelah Netanyahu kembali menjabat pada 2009.
Pada akhir 2012, ia memerintahkan serangan besar-besaran setelah eskalasi tembakan roket ke Israel.
Kekerasan lintas batas berkobar lagi dan setelah gelombang serangan roket pada Juli 2014. Insiden ini kembali ditanggapinya dengan kampanye militer lainnya.
Perang 50 hari itu menewaskan lebih dari 2.100 warga Palestina, kebanyakan dari mereka warga sipil, menurut pejabat PBB dan Palestina. Di pihak Israel, 67 tentara dan enam warga sipil tewas.
Meskipun selama konflik Israel mendapat dukungan dari Amerika Serikat, sekutu terdekatnya, hubungan antara Netanyahu di masa Presiden Barack Obama terbilang sulit.
Hubungan keduanya menjadi sangat buruk ketika Netanyahu berpidato di depan Kongres AS pada Maret 2015. Dia memperingatkan atas "kesepakatan buruk" yang timbul dari negosiasi AS dengan Iran atas program nuklirnya.
Pemerintahan Obama mengutuk kunjungan itu, serta menyebutnya sudah mengganggu dan merusak relasi.
Baca juga: Mengapa Israel Menyerang Palestina?