Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik Israel-Palestina (1): Gerakan Zionisme sampai Mandat Palestina

Kompas.com - 14/05/2021, 16:47 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Kompas.com

Konflik dan sengketa perebutan tanah tak jarang terjadi di antara kedua bangsa ini.

Semakin meningkatnya jumlah imigran Yahudi di Palestina ternyata juga membuat Kekaisaran Ottoman khawatir.

Baca juga: Israel Klarifikasi Pasukan Daratnya Sudah Menyerang Gaza

Alasannya karena kebanyakan imigran Yahudi itu datang dari Rusia, yang merupakan musuh utama Ottoman dalam perebutan kekuasaan di kawasan Balkan.

Ottoman khawatir, para pendatang Yahudi dari Rusia ini akan menjadi perpanjangan tangan negeri asalnya untuk melemahkan kekuasaan Ottoman di Timur Tengah.

Jadi, kekerasan pertama yang menimpa para imigran Yahudi pada 1880-an di Palestina, khususnya yang dilakukan Ottoman Turki, adalah karena mereka dianggap sebagai bangsa Rusia atau Eropa, bukan karena mereka adalah Yahudi.

Sementara itu, langkah menentang imigran Yahudi pun dilakukan penduduk lokal, khususnya warga Arab.

Mereka mulai memprotes akuisisi tanah oleh pendatang Yahudi. Aksi protes ini akhirnya membuat Kekaisaran Turki Ottoman Turki menghentikan penjualan tanah kepada para imigran dan orang asing.

Meski demikian, pada 1914 jumlah warga Yahudi di Palestina sudah berjumlah 66.000 orang, separuhnya adalah pendatang baru.

Baca juga: Konflik Israel-Palestina (1): Zionisme dan Imigrasi Bangsa Yahudi

Runtuhnya Ottoman

Kekaisaran Ottoman Turki memilih menjadi sekutu Jerman dalam Perang Dunia I (1914-1918).

Artinya, Ottoman Turki berseberangan dengan Inggris dan Perancis yang juga menjadi musuh "alami" Jerman.

Situasi ini diamati dengan baik oleh kelompok Zionis yang semakin kuat, dan juga para pelopor pergerakan nasionalisme Arab.

Kedua kelompok ini melihat peluang mendepak Ottoman Turki dari kawasan Timur Tengah. Alhasil, keduanya memilih memihak Inggris.

Di sela-sela perang, berbagai upaya diplomatik dilakukan, baik oleh kelompok Zionis maupun Arab demi kepentingan mereka masing-masing.

Salah satunya adalah korespondensi Pemimpin Mekkah Hussein bin Ali dengan Komisioner Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.

Inti dari surat-menyurat yang terjadi 1914-1915 itu adalah bangsa Arab berjanji bersekutu dengan Inggris.

Sebagai timbal baliknya, pada saat perang berakhir Inggris harus mengakui kemerdekaan negara-negara Arab.

Namun, kemudian terungkap bahwa Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian Sykes-Picot 1917. Isinya mengatur rencana kedua negara membagi wilayah-wilayah yang dulunya adalah milik Ottoman Turki.

Gerilya diplomatik juga dilakukan kelompok Zionis. Pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, Baron Rothschild, membangun hubungan dengan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour.

Balfour membuat pernyataan pada 2 November 1917 yang dikenal dengan "Deklarasi Balfour".

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com